Jakarta (ANTARA) - Peneliti dari Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi BRIN Ibnu Maryanto mengungkapkan, ornamen flora dan fauna dalam relief Karmawibhangga pada Candi Borobudur menyimpan makna yang signifikan yang saling berkaitan satu sama lain dengan kehidupan manusia.

Ibnu dalam webinar di Jakarta Kamis mengatakan, analisis terhadap panel-panel Karmawibhangga sebelumnya telah dilakukan oleh peneliti asal Belanda Nicolaas Johannes Krom pada 1920. Namun, Krom masih menggunakan sudut pandang antroposentris, atau manusia sebagai pusat alam semesta sehingga tidak melibatkan pembacaan terhadap ornamen flora dan fauna.

“Padahal, flora dan fauna itu ditulis atau diungkapkan -digambarkan- penuh makna. Sedangkan Krom tidak pernah satu pun menjabarkan terkait dengan flora-fauna. Ada beberapa dia menjabarkan flora-fauna, tetapi dalam kondisi identifikasi yang salah. Sehingga makna yang dia ungkapkan menjadi bias,” kata Ibnu.

Penerjemahan Krom terhadap panel-panel Karmawibhangga yang antroposentris dapat dimaklumi mengingat peneliti itu bukan keturunan Jawa, sehingga kecil kemungkinan mengetahui seluk-beluk budaya Jawa.

Oleh sebab itu, ujar Ibnu, penyingkapan makna panel-panel Karmawibhangga harus diselesaikan oleh bangsa Indonesia sendiri. Dirinya bersama beberapa peneliti lintas-disiplin pun mencoba untuk melakukan dekonstruksi dan redekonstruksi cerita dengan menggunakan pendekatan queer.

Secara sederhana, queer merupakan teori yang menentang logika oposisi biner yang membagi dunia menjadi dua klasifikasi, seperti baik-buruk, kuat-lemah, laki-laki perempuan, dan seterusnya. Dengan pendekatan ini, peneliti melihat adanya prinsip kesetaraan dan kesalingterhubungan dari seluruh ornamen yang tergambar pada panel.

Relief Karmawibhangga yang berada di kaki Candi Borobudur terdiri atas 160 panel dengan cerita yang berbeda-beda. Karmawibhangga dipercaya sebagai kumpulan ajaran sang Buddha tentang hukum karma atau hukum sebab akibat.

Dalam penelitiannya, Ibnu berfokus pada panel nomor 105 yang memuat banyak keragaman flora dan fauna. Panel itu hanya dibaca oleh Krom sebagai empat orang yang sedang bertapa atau bermeditasi dan dikelilingi oleh flora dan fauna. Pembacaan Krom inilah yang coba untuk ditantang kembali dengan pendekatan queer.

“Itu adalah panel yang sangat rumit karena di dalam panel ini menyingkapkan banyak tumbuhan dan banyak fauna yang terungkapkan di dalam satu panel. Dan ini yang harus kita terjemahkan,” ujar Ibnu.

Ia menjelaskan, terdapat enam jenis flora dan delapan jenis fauna yang teridentifikasi pada panel 105. Keenam flora yang teridentifikasi antara lain pohon mangga (Mangifera indica), pohon nangka (Artocarpus heterophyllus), tebu (Saccharum officinarum), bira besar (Alocasia macrorrhiza), pohon ketapang (Terminalia catappa), dan pohon pisang (Musa paradisiaca).

Kemudian delapan fauna antara lain burung madu (Nectaridae), harimau jawa (Panthera tigris), binturong (Arctictis binturong), musang luwak (Paradoxurus hermaphroditus), kijang muncak (Muntiacus muntjak), pelanduk jawa (tragulus javanicus), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), dan siput (Gastropods).

Selain jenis-jenis flora dan fauna, panel 105 pada Karmawibhangga juga memunculkan ornamen simbol air yang digambarkan dengan simbol “v”, gunung, dan batuan.

Berdasarkan analisisnya, Ibnu menjelaskan bahwa keberadaan fauna pada panel 105 menunjukkan waktu cerita seperti pagi, siang, sore, dan malam sejalan dengan kemunculan fauna-fauna tersebut pada waktu-waktu tertentu saja. Selain itu, kehadiran fauna juga menunjukkan lokasi peristiwa dan bermakna sebagai simbol sosial budaya tertentu.

Sementara itu, keberadaan flora bermakna sebagai simbol kehidupan manusia di samping juga untuk menunjukkan keanekaragaman tumbuhan yang telah dimanfaatkan oleh masyarakat Jawa kuno.

Dengan demikian, menurut analisis Ibnu yang dibantu dengan rujukan literatur kuno, panel 105 pada dasarnya menggambarkan seorang pertapa yang bermeditasi selama lebih dari satu hari yang disimbolkan dengan adanya flora dan fauna yang mengelilinginya. Gambaran manusia, flora, dan fauna tersebut saling berkaitan satu sama lain dan memiliki hubungan yang menyeluruh.

“Penggambaran karma pada panel Karmawibhangga tidak hanya menjelaskan prinsip-prinsip atau hukum sebab akibat. Panel tersebut juga menunjukkan gerakan menuju pembubaran dualitas kognitif untuk mengungkap pendekatan yang bertujuan untuk memahami flora-fauna secara utuh. Dan manusia tidak hanya ditampilkan sebagai antroposentris saja, tetapi kita harus mengikatkan dalam post-human, harus kita ikutkan kesetaraan di dalam pengelolaan alam ini,” kata Ibnu.