BRIN sebut studi paleoklimat ungkap perubahan iklim masa lampau
24 Oktober 2024 12:06 WIB
Aktivis merekam tampilan video mapping dalam aksi pesan damai untuk awasi pemerintahan baru di Lapangan Banteng, Jakarta, Jumat (18/10/2024). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/aww/am.
Jakarta (ANTARA) - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyebutkan studi paleoklimat berfokus pada pengungkapan sejarah perubahan iklim masa lampau untuk membantu memahami perubahan iklim dan dampaknya saat ini dan masa mendatang.
“Salah satu cabang ilmu geologi yaitu paleoklimat, ilmu yang mempelajari iklim masa lampau, dapat menyediakan data jangka panjang yang mengisi celah dari data observasi modern,” kata Peneliti Ahli Madya Pusat Riset Iklim dan Atmosfer (PRIMA) BRIN Marfasran Hendrizan dalam keterangan di Jakarta, Kamis.
Ia mengatakan melalui riset paleoklimat terungkap bahwa pada masa lampau, Indonesia pernah mengalami peningkatan suhu hingga 3 derajat Celsius.
Ia menjelaskan peningkatan suhu 3 derajat Celsius di wilayah Indonesia hingga mencapai tingkat ekstrem pada masa lampau membutuhkan waktu yang lama, yakni sekitar 7 ribu tahun.
"Namun, peningkatan suhu 3 derajat Celsius, bahkan lebih, di masa depan hanya membutuhkan kurang dari seratus tahun,” kata dia.
Indonesia yang berada di kawasan tropis, termasuk dalam “kolam terpanas” dunia atau dikenal sebagai “Indo-Pacific warm pool”. Wilayah ini memiliki aktivitas konveksi tinggi dengan curah hujan yang besar, namun cakupan datanya masih terbatas.
Kondisi iklim pada masa lampau menunjukkan adanya perbedaan temperatur maupun kenaikan CO2 dan muka laut. Parameter-parameter tersebut serta perhitungan skala waktu, digunakan sebagai acuan untuk merekonstruksi paleoklimat pada masa lampau.
Objek penelitian yang digunakan sebagai sampel untuk meneliti kondisi temperatur pada masa lampau adalah foraminifera. Foraminifera adalah plankton yang hidup di lautan dan ia memiliki dinding cangkang kalsit.
“Ketika foraminifera hidup sebagai zooplankton, maka foraminifera tersebut menangkap sinyal-sinyal iklim dari suhu, salinitas, oksigen, pH, dan lain-lain,” kata Marfasran.
Sinyal tersebut, katanya, akan tersimpan pada cangkang foraminifera dan ikut terbawa sampai foraminifera tersebut mati dan terkubur.
“Semakin lama terkubur semakin lama arsip itu tersimpan. Foraminifera yang terkandung dalam sedimen di lautan inilah kemudian dieksplorasi menggunakan kapal riset untuk mendapatkannya,” ujarnya.
Rasio unsur magnesium dan kalsium yang terdapat di cangkang foraminifera memiliki korelasi positif antara temperatur dengan magnesium kalsium. Semakin tinggi magnesium kalsium maka semakin tinggi nilai isotopik dari temperatur yang ada.
Dari data rasio tersebut kemudian disimpulkan bahwa Indonesia pernah mengalami peningkatan suhu hingga 3 derajat Celsius di masa lampau.
Baca juga: Menteri LH akan pastikan Second NDC sesuai dengan kondisi saat ini
Baca juga: Indonesia, EU, IOM luncurkan indeks risiko migrasi akibat iklim RICD
Baca juga: BMKG: Waspada, konsentrasi gas rumah kaca RI naik 2 ppm per tahun
“Salah satu cabang ilmu geologi yaitu paleoklimat, ilmu yang mempelajari iklim masa lampau, dapat menyediakan data jangka panjang yang mengisi celah dari data observasi modern,” kata Peneliti Ahli Madya Pusat Riset Iklim dan Atmosfer (PRIMA) BRIN Marfasran Hendrizan dalam keterangan di Jakarta, Kamis.
Ia mengatakan melalui riset paleoklimat terungkap bahwa pada masa lampau, Indonesia pernah mengalami peningkatan suhu hingga 3 derajat Celsius.
Ia menjelaskan peningkatan suhu 3 derajat Celsius di wilayah Indonesia hingga mencapai tingkat ekstrem pada masa lampau membutuhkan waktu yang lama, yakni sekitar 7 ribu tahun.
"Namun, peningkatan suhu 3 derajat Celsius, bahkan lebih, di masa depan hanya membutuhkan kurang dari seratus tahun,” kata dia.
Indonesia yang berada di kawasan tropis, termasuk dalam “kolam terpanas” dunia atau dikenal sebagai “Indo-Pacific warm pool”. Wilayah ini memiliki aktivitas konveksi tinggi dengan curah hujan yang besar, namun cakupan datanya masih terbatas.
Kondisi iklim pada masa lampau menunjukkan adanya perbedaan temperatur maupun kenaikan CO2 dan muka laut. Parameter-parameter tersebut serta perhitungan skala waktu, digunakan sebagai acuan untuk merekonstruksi paleoklimat pada masa lampau.
Objek penelitian yang digunakan sebagai sampel untuk meneliti kondisi temperatur pada masa lampau adalah foraminifera. Foraminifera adalah plankton yang hidup di lautan dan ia memiliki dinding cangkang kalsit.
“Ketika foraminifera hidup sebagai zooplankton, maka foraminifera tersebut menangkap sinyal-sinyal iklim dari suhu, salinitas, oksigen, pH, dan lain-lain,” kata Marfasran.
Sinyal tersebut, katanya, akan tersimpan pada cangkang foraminifera dan ikut terbawa sampai foraminifera tersebut mati dan terkubur.
“Semakin lama terkubur semakin lama arsip itu tersimpan. Foraminifera yang terkandung dalam sedimen di lautan inilah kemudian dieksplorasi menggunakan kapal riset untuk mendapatkannya,” ujarnya.
Rasio unsur magnesium dan kalsium yang terdapat di cangkang foraminifera memiliki korelasi positif antara temperatur dengan magnesium kalsium. Semakin tinggi magnesium kalsium maka semakin tinggi nilai isotopik dari temperatur yang ada.
Dari data rasio tersebut kemudian disimpulkan bahwa Indonesia pernah mengalami peningkatan suhu hingga 3 derajat Celsius di masa lampau.
Baca juga: Menteri LH akan pastikan Second NDC sesuai dengan kondisi saat ini
Baca juga: Indonesia, EU, IOM luncurkan indeks risiko migrasi akibat iklim RICD
Baca juga: BMKG: Waspada, konsentrasi gas rumah kaca RI naik 2 ppm per tahun
Pewarta: Farhan Arda Nugraha
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2024
Tags: