Jakarta (ANTARA) - East Asia and Pacific Regional Consultant UNICEF Alissa Pries memaparkan tujuh rekomendasi global dari Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) terkait dengan praktik pemberian Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MPASI) kepada bayi.

Pertama, ia menjelaskan bahwa inti dari pemberian MPASI adalah asupan ASI. Oleh karena itu, selain diberi MPASI, pemberian ASI harus terus dilanjutkan hingga anak berusia dua tahun atau lebih untuk memenuhi asupan energi dan zat gizinya.

"Ini berdasarkan bukti bahwa ASI terus menyediakan zat gizi dan energi yang dibutuhkan untuk anak dalam dua tahun kehidupannya," kata Alissa dalam sebuah diskusi daring yang dipantau di Jakarta pada Rabu.

Kedua, untuk bayi yang diberi susu selain ASI, dapat mengonsumsi susu formula dan hewani saat berusia 6-11 bulan. Namun, saat berusia 12-23 bulan, hanya susu hewani yang dapat diberikan sedangkan susu formula lanjutan/susu balita tidak dianjurkan.

Baca juga: Kemenkes ingatkan MPASI mulai diberikan ketika bayi berusia enam bulan

Baca juga: FIK UI latih kader Puskesmas beri MPASI dengan rempah Lombok


Ketiga, bayi harus diperkenalkan dengan MPASI pada usia 180 hari atau enam bulan sambil tetap diberi ASI. Allisa memaparkan penundaan pemberian MPASI berisiko dapat mengganggu proses tumbuh kembang anak.

"Menunda (memberikan) MPASI ini bisa berbahaya, jadi enam bulan itu rekomendasi memperkenalkan MPASI," ujar Allisa.

Keempat, bayi berusia 6-23 bulan harus mendapatkan MPASI dengan variasi beragam. Ia menekankan tiga jenis makanan sebagai sumber energi dan gizi yakni makanan hewani seperti daging, ikan, atau telur yang diberikan setiap hari.

Kemudian ada buah dan sayur yang juga diberikan setiap hari serta kacang-kacangan yang dikonsumsi sesering mungkin, terutama apabila sumber makanan hewani terbatas dalam pola makan bayi.

Kelima, Allisa mengingatkan makanan dan minuman tidak sehat seperti yang mengandung gula, garam, dan lemak trans tinggi sebaiknya tidak dikonsumsi.

Konsumsi makanan dan minuman yang tidak sehat, kata Allisa, berkaitan dengan risiko kekurangan gizi, kelebihan berat badan, hingga membiasakan pola makan yang tidak sehat.

"Ada bukti yang menunjukkan bahwa produk-produk ini terkait dengan kekurangan gizi, kelebihan berat badan, dan dapat membentuk pemilihan rasa sehingga akan membentuk pola makan yang tidak sehat dalam jangka panjang," paparnya.

Keenam, apabila kebutuhan gizi bayi tidak dapat dipenuhi dengan makanan yang tidak difortifikasi, bayi berusia 6-23 bulan dapat memperolehnya dari suplemen atau produk makanan yang difortifikasi.

"Konsumsi makanan pendamping berbasis biji-bijian sereal yang difortifikasi dibandingkan dengan tidak mengonsumsinya, dapat meningkatkan indikator status zat besi termasuk juga meningkatkan kemampuan mental dan motorik mereka," kata Allisa.

Ketujuh, anak usia 6-23 bulan harus diberi makan secara responsif yakni praktik pemberian makan yang mendorong anak untuk makan secara mandiri.

"Ini untuk merespons kebutuhan fisiologis dan perkembangan yang dapat mendorong pengaturan diri dalam makan serta mendukung fungsi kognitif emosional dan kognitif pembangunan sosial," ucapnya.*

Baca juga: Studi: 33,4 persen bayi diberi makan selain ASI pada tiga hari pertama

Baca juga: KemenPPPA: MPASI anak hingga dua tahun jangan diberi gula dan garam