Jakarta (ANTARA) - Pada 20 Oktober 2024, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Pelantikan ini membawa harapan baru bagi banyak pihak, terutama bagi masyarakat yang menginginkan perubahan nyata dalam pengentasan kemiskinan.

Target untuk menurunkan angka kemiskinan ekstrem hingga nol persen dalam dua tahun pertama masa jabatan, serta mencapai kemiskinan di bawah 6 persen pada 2029, merupakan bagian dari visi ambisius dalam pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.

Namun, mencapai target tersebut tidaklah mudah. Kemiskinan di Indonesia merupakan masalah yang telah berakar kuat dan memerlukan kebijakan yang mendalam serta berkelanjutan untuk diatasi. Tantangan-tantangan besar telah menanti, terutama setelah beberapa tahun terakhir menunjukkan perlambatan dalam penurunan angka kemiskinan.

Selama periode 2019 hingga 2024, penurunan angka kemiskinan di Indonesia berjalan cukup lambat. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), kemiskinan hanya turun sekitar 0,38 persen poin dalam lima tahun terakhir. Sebagai perbandingan, dalam periode 2014-2019, penurunan kemiskinan lebih signifikan, yaitu mencapai 1,84 persen poin. Hal ini menandakan bahwa pemulihan ekonomi pasca-pandemi belum sepenuhnya terjadi. Pandemi COVID-19 memberikan dampak signifikan terhadap kelompok rentan, menyebabkan banyak keluarga yang jatuh kembali ke dalam jurang kemiskinan.

Salah satu aspek yang harus dicermati adalah angka kemiskinan yang masih cukup tinggi, meski persentasenya lebih rendah dibandingkan sebelum pandemi COVID-19. Pada Maret 2024, tingkat kemiskinan tercatat sebesar 9,03 persen, atau setara dengan 25,22 juta orang. Ini sedikit lebih rendah dari persentase pada September 2019 (9,22 persen). Namun, jika dilihat dari jumlah absolut, penduduk miskin justru bertambah, dari 24,78 juta orang pada 2019 menjadi 25,22 juta pada 2024.

Fenomena ini menunjukkan bahwa meskipun persentase kemiskinan menurun, jumlah orang yang hidup di bawah garis kemiskinan justru bertambah, yang memperlihatkan tantangan struktural dalam penanganan kemiskinan di Indonesia.

Selain perlambatan laju penurunan kemiskinan, tantangan utama lainnya adalah tingginya tingkat kemiskinan di wilayah perkotaan.

Data BPS menunjukkan bahwa pada Maret 2024, kemiskinan di perkotaan mencapai 7,09 persen, naik dari kondisi sebelum pandemi yaitu September 2019 yang sebesar 6,56 persen. Ini menandakan bahwa pemulihan ekonomi di wilayah perkotaan lebih lambat dibandingkan di pedesaan. Sementara itu, angka kemiskinan pedesaan menunjukkan penurunan yang lebih baik, dari 12,60 persen pada September 2019 menjadi 11,79 persen pada Maret 2024.

Kemiskinan di perkotaan memang lebih kompleks. Berbeda dengan di pedesaan yang banyak bergantung pada sektor pertanian, kemiskinan di kota sering kali disebabkan oleh ketidakstabilan pekerjaan di sektor informal, harga perumahan yang terus meningkat, serta tingginya biaya hidup.

Peningkatan indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan di perkotaan juga menunjukkan bahwa masalah kemiskinan perkotaan semakin mendalam. Indeks Kedalaman Kemiskinan, yang mengukur rata-rata jarak pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan, meningkat dari 1,015 pada September 2019 menjadi 1,095 pada Maret 2024. Sementara itu, Indeks Keparahan Kemiskinan yang mencerminkan penyebaran pengeluaran di antara penduduk miskin juga meningkat dari 0,233 menjadi 0,252 pada periode yang sama.

Dalam menghadapi berbagai tantangan ini, pemerintahan Prabowo-Gibran harus merancang kebijakan yang lebih terintegrasi dan mendalam. Pengentasan kemiskinan memerlukan pendekatan yang komprehensif dan inklusif, yang mampu menjawab ketidaksetaraan struktural sekaligus mempercepat pemulihan ekonomi bagi kelompok rentan.

Pemerintah perlu merancang program-program yang secara khusus menyasar wilayah perkotaan dan pedesaan dengan pendekatan yang berbeda. Di wilayah perkotaan, fokus kebijakan harus pada stabilitas pekerjaan dan akses terhadap perumahan yang terjangkau. Pekerjaan di sektor informal perlu mendapatkan perhatian khusus, mengingat besarnya populasi yang bekerja di sektor ini. Program seperti perlindungan sosial yang lebih baik, akses modal bagi usaha kecil, dan pelatihan keterampilan menjadi sangat penting untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat perkotaan.

Sementara itu, di wilayah perdesaan, pemberdayaan ekonomi harus dilakukan melalui penguatan sektor pertanian berkelanjutan, akses teknologi, dan pembangunan infrastruktur. Pembangunan yang merata di pedesaan juga akan mengurangi kesenjangan antara kota dan desa, sekaligus meningkatkan kualitas hidup masyarakat perdesaan.

Selain kebijakan sektoral, pengentasan kemiskinan juga harus didukung oleh sinergi antara kebijakan fiskal dan moneter. Belanja negara untuk program sosial dan infrastruktur harus diarahkan dengan tepat sasaran agar dapat menciptakan lapangan kerja, meningkatkan daya beli masyarakat, dan mempercepat pemulihan ekonomi. Peran kebijakan fiskal yang pro-poor, seperti subsidi langsung, sangat penting dalam menjaga kestabilan daya beli kelompok rentan.

Di sisi lain, kebijakan moneter yang stabil juga dibutuhkan untuk mengendalikan inflasi yang berdampak langsung terhadap daya beli masyarakat miskin. Ketika harga kebutuhan pokok melambung, kelompok miskinlah yang paling terdampak. Oleh karena itu, menjaga stabilitas harga adalah kunci penting dalam upaya pengentasan kemiskinan.

Visi besar Prabowo-Gibran untuk menurunkan kemiskinan hingga di bawah 6 persen pada 2029 hanya akan tercapai jika ada komitmen jangka panjang yang kuat. Kebijakan yang diambil harus konsisten, responsif, dan berbasis data. Evaluasi yang berkelanjutan juga diperlukan untuk memastikan bahwa setiap program yang diluncurkan berjalan efektif dan memberikan dampak yang nyata. Salah satu kunci keberhasilan pengentasan kemiskinan adalah perencanaan yang matang, diikuti oleh pelaksanaan yang tepat waktu dan tepat sasaran.

Ke depan, pemerintahan Prabowo-Gibran diharapkan tidak hanya berfokus pada capaian angka sesaat, melainkan lebih melihat kondisi secara menyeluruh, baik di perkotaan maupun pedesaan. Dengan demikian, target menurunkan kemiskinan relatif hingga di bawah 6 persen pada 2029 bukan sekadar komitmen politik, tetapi menjadi kenyataan yang dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.

Sebagaimana dikatakan oleh Walter Nicholson, "The ultimate goal of economic activity is to improve the welfare of people." Dan itulah yang menjadi tujuan utama setiap kebijakan pembangunan, yakni untuk kesejahteraan semua.



*) Nuri Taufiq dan Lili Retnosari merupakan Statistisi di BPS