BRIN minta Kemendiktisaintek kaji ulang aturan publikasi jurnal ilmiah
23 Oktober 2024 11:56 WIB
Kepala Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora BRIN Ahmad Najib Burhani saat diwawancarai di sela simposium bertajuk 'Mobilities among ASEAN and Japan: Its Future and How We Shape It' di Jakarta, Selasa (25/7/2023). (ANTARA/Sugiharto Purnama)
Jakarta (ANTARA) - Kepala Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Ahmad Najib Burhani meminta Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) untuk mengkaji ulang aturan kewajiban publikasi mahasiswa di jurnal ilmiah.
Pada 2012 lalu, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan surat edaran bernomor 152/E/T/2012 terkait publikasi karya ilmiah, yang mewajibkan penerbitan makalah ilmiah sebagai syarat kelulusan, di mana mahasiswa program sarjana diwajibkan menulis makalah dan diterbitkan di jurnal ilmiah, magister di jurnal ilmiah nasional, serta doktoral di jurnal internasional.
"Kebijakan ini memiliki dampak negatif, seperti ada efek insentif publikasi yang menimbulkan adanya 'peternakan' publikasi'," kata Najib dalam Sarasehan Nasional Pendidikan yang diikuti secara daring di Jakarta, Rabu.
Baca juga: BRIN minta pemerintah tegas kepada joki publikasi dan jurnal predator
Selain itu, menurut Najib, meningkat pula pelaku joki dan kegiatan plagiarisasi terhadap publikasi, yang menimbulkan efek kobra.
Ia menjelaskan efek kobra adalah situasi di mana insentif yang dirancang untuk memecahkan masalah justru memberi penghargaan kepada orang yang memperburuknya, sebagaimana yang terjadi di India pada zaman dahulu.
"Istilahnya efek kobra, di mana banyak kobra yang berkeliaran di kampung lalu pemerintah memberi hadiah bagi masyarakat yang bisa menangkap kobra. Alih-alih berkurang, kobranya justru bertambah, karena mereka tidak hanya menangkap, tetapi mereka berternak dan lalu menangkap kobranya. Ini yang menjadi efek negatif dengan publikasi ini," ujar Najib.
"Karena ada insentif, kenaikan jabatan, syarat menjadi profesor, dan lain sebagainya, maka ada orang yang melakukan ternak publikasi dan muncul banyak sekali jurnal predator di tengah masyarakat," katanya.
Baca juga: BRIN: Publikasi ilmiah penting bagi akademik hingga ekonomi negara
Oleh sebab itu, Najib menyebut adanya fenomena ternak publikasi ini berperan dalam munculnya jurnal yang tidak kredibel maupun jurnal predator yang tidak melakukan proses peninjauan ilmiah dan penyuntingan dengan baik dan benar, dan seolah-olah memangsa para penulis dengan memberikan tarif publikasi langsung kepada mereka.
Meskipun demikian, ia mengatakan adanya kebijakan ini juga memiliki berbagai dampak positif, seperti peningkatan pada bidang publikasi artikel ilmiah nasional, juga peningkatan jurnal Indonesia yang masuk ke dalam indeks jurnal internasional.
Oleh karena itu, Najib berharap kepada Kemendiktisaintek untuk mengkaji ulang peraturan tersebut, sehingga dunia pendidikan Indonesia bisa menjadi lebih baik, berdaya saing, sehingga meningkatkan marwah pendidikan bangsa di mata dunia, dan turut berkontribusi dalam peradaban dunia.
Baca juga: Kemendikbudristek: Kualitas jurnal pengaruhi reputasi perguruan tinggi
"Waktu era Mas Menteri Nadiem Makarim dulu berfokus pada tiga dosa besar pendidikan seperti kekerasan, intoleransi, dan bullying. Maka, kita berharap adanya Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi ini bisa fokus menangani persoalan dikti, dengan masuk dunia riset dan publikasi. Sehingga, kita juga memiliki kontribusi serius di bidang akademik global, dan tidak diejek oleh negara lain karena memiliki kredibilitas publikasi yang kurang," tutur Ahmad Najib Burhani.
Pada 2012 lalu, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan surat edaran bernomor 152/E/T/2012 terkait publikasi karya ilmiah, yang mewajibkan penerbitan makalah ilmiah sebagai syarat kelulusan, di mana mahasiswa program sarjana diwajibkan menulis makalah dan diterbitkan di jurnal ilmiah, magister di jurnal ilmiah nasional, serta doktoral di jurnal internasional.
"Kebijakan ini memiliki dampak negatif, seperti ada efek insentif publikasi yang menimbulkan adanya 'peternakan' publikasi'," kata Najib dalam Sarasehan Nasional Pendidikan yang diikuti secara daring di Jakarta, Rabu.
Baca juga: BRIN minta pemerintah tegas kepada joki publikasi dan jurnal predator
Selain itu, menurut Najib, meningkat pula pelaku joki dan kegiatan plagiarisasi terhadap publikasi, yang menimbulkan efek kobra.
Ia menjelaskan efek kobra adalah situasi di mana insentif yang dirancang untuk memecahkan masalah justru memberi penghargaan kepada orang yang memperburuknya, sebagaimana yang terjadi di India pada zaman dahulu.
"Istilahnya efek kobra, di mana banyak kobra yang berkeliaran di kampung lalu pemerintah memberi hadiah bagi masyarakat yang bisa menangkap kobra. Alih-alih berkurang, kobranya justru bertambah, karena mereka tidak hanya menangkap, tetapi mereka berternak dan lalu menangkap kobranya. Ini yang menjadi efek negatif dengan publikasi ini," ujar Najib.
"Karena ada insentif, kenaikan jabatan, syarat menjadi profesor, dan lain sebagainya, maka ada orang yang melakukan ternak publikasi dan muncul banyak sekali jurnal predator di tengah masyarakat," katanya.
Baca juga: BRIN: Publikasi ilmiah penting bagi akademik hingga ekonomi negara
Oleh sebab itu, Najib menyebut adanya fenomena ternak publikasi ini berperan dalam munculnya jurnal yang tidak kredibel maupun jurnal predator yang tidak melakukan proses peninjauan ilmiah dan penyuntingan dengan baik dan benar, dan seolah-olah memangsa para penulis dengan memberikan tarif publikasi langsung kepada mereka.
Meskipun demikian, ia mengatakan adanya kebijakan ini juga memiliki berbagai dampak positif, seperti peningkatan pada bidang publikasi artikel ilmiah nasional, juga peningkatan jurnal Indonesia yang masuk ke dalam indeks jurnal internasional.
Oleh karena itu, Najib berharap kepada Kemendiktisaintek untuk mengkaji ulang peraturan tersebut, sehingga dunia pendidikan Indonesia bisa menjadi lebih baik, berdaya saing, sehingga meningkatkan marwah pendidikan bangsa di mata dunia, dan turut berkontribusi dalam peradaban dunia.
Baca juga: Kemendikbudristek: Kualitas jurnal pengaruhi reputasi perguruan tinggi
"Waktu era Mas Menteri Nadiem Makarim dulu berfokus pada tiga dosa besar pendidikan seperti kekerasan, intoleransi, dan bullying. Maka, kita berharap adanya Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi ini bisa fokus menangani persoalan dikti, dengan masuk dunia riset dan publikasi. Sehingga, kita juga memiliki kontribusi serius di bidang akademik global, dan tidak diejek oleh negara lain karena memiliki kredibilitas publikasi yang kurang," tutur Ahmad Najib Burhani.
Pewarta: Sean Filo Muhamad
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2024
Tags: