Jakarta (ANTARA) - Presiden Prabowo Subianto pada Selasa secara resmi melantik tujuh Penasihat Khusus Presiden, dimana pejabat yang baru dilantik itu merupakan tokoh yang memiliki keahlian dan syarat akan pengalaman di dunia perpolitikan tanah air.

Terdapat tujuh bidang untuk Penasihat Khusus Presiden, yaitu bidang politik dan keamanan, digitalisasi dan teknologi pemerintahan, pertahanan nasional, ekonomi dan pembangunan, urusan energi, haji, dan Penasihat Khusus Presiden bidang kesehatan nasional.

Ketujuh tokoh yang dilantik yaitu Jendral TNI (Purn) Wiranto, Jenderal TNI (Purn) Luhut Binsar Pandjaitan, Jenderal TNI (Purn) Prof Dudung Abudrachman, Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro, Prof Purnomo Yusgiantoro, Muhadjir Effendy, dan Prof Terawan Agus Putranto.

Semua tokoh yang dilantik merupakan implementasi dari Peraturan Presiden Nomor 137 Tahun 2024 tentang Penasihat Khusus Presiden, Utusan Khusus Presiden, Staf Khusus Presiden dan Staf Khusus Wakil Presiden yang ditetapkan oleh Presiden Ke-7 Joko Widodo.

Penetapan Perpres itu ditandatangani Jokowi 18 Oktober 2024 saat ia masih menjabat Presiden.

Sebagaimana salinan perpres yang diunduh di laman jdih.setneg.go.id, Selasa, perpres itu mengatur tentang keberadaan Penasihat Khusus Presiden, Utusan Khusus Presiden serta Staf Khusus Presiden dan Staf Khusus Wakil Presiden.

Baik Penasihat Khusus Presiden dan Utusan Khusus Presiden dibentuk untuk memperlancar tugas Presiden.

Dari ketujuh Penasihat Khusus Presiden terdapat nama yang sudah tidak asing di telinga masyarakat Indonesia, yaitu Jendral TNI (Purn) Wiranto, sang Jendral yang sudah malang melintang di dunia perpolitikan tanah air.

Jendral Wiranto

Pria kelahiran Yogyakarta 4 April 1947 itu merupakan lulusan Akademi Militer (Akmil) 1968, sebelum menempati pucuk pimpinan Angkatan Bersenjata (ABRI) saat ini TNI 1998-1999, Wiranto pernah menjadi ajudan Presiden Soeharto periode 1989-1993.

Setelah menjadi ajudan Presiden Ke-2, karier militer-nya terbilang moncer, tercatat Sang Jenderal pernah menjabat sebagai Kepala Staf Kodam Jaya pada 1993, Panglima Kodam Jaya 1994, Pangkostrad 1996 dan kemudian menjadi Kepala Staf Angkatan Darat pada 1997.

Selain sebagai Panglima ABRI, Wiranto juga menduduki jabatan Menteri Keamanan Pertahanan (Menhankam) pada Kabinet Pembangunan VII 1998.

Memasuki era transisi dari Orde Baru ke reformasi, Wiranto juga masih menempati jabatan sebagai Menhankam pada Kabinet Reformasi Pembangunan Presiden Habibie.

Setelah pemerintahan Presiden Ke-3 berakhir, kemudian Wiranto masuk pada Kabinet Persatuan Nasional Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, ia ditunjuk sebagai Menteri Koordinator Politik dan Keamanan (Menko Polkam) 1999-2000.

Sebagai seorang tentara, Wiranto juga mendapatkan segudang pengalaman, apalagi ketika menjabat sebagai Panglima, keadaan Bangsa Indonesia mengalami krisis, dan kerusuhan terjadi di mana-mana.

Bahkan akibat pergolakan politik pada waktu itu, Presiden ke-2 Soeharto resmi mengundurkan diri dari pucuk pimpinan setelah menjabat lebih dari 32 tahun.

Karier politik

Setelah resmi pensiun dari dunia militer, Jendral TNI (Purn) Wiranto lantas tidak hanya menikmati masa pensiun-nya saja, namun memilih berkarier di dunia politik dan gabung Partai Golkar.

Saat berada di partai berlambang pohon beringin, pria yang sempat menduduki jabatan sebagai Ketua Umum Federasi Karatedo Indonesia (FORKI) mengikuti Konvensi Nasional untuk maju sebagai calon presiden.

Persaingan pada Konvensi Nasional Golkar cukup ketat, karena harus melawan nama-nama seperti Akbar Tandjung, Aburizal Bakrie, Surya Paloh, dan Prabowo Subianto.

Wiranto bersaing ketat dengan Akbar Tandjung yang saat itu merupakan Ketua Umum DPP Partai Golkar, namun nasib memihak kepada pria yang hobinya menyanyi, dan olahraga.

Pada Konvensi Nasional tersebut, Wiranto akhirnya menang dan maju sebagai calon presiden pada Pemilu 2004 dari Partai Golkar berpasangan dengan Salahuddin Wahid.

Pada pertarungan politik lima tahunan itu, Wiranto gagal menjadi pemenang, dan selang dua tahun setelah itu mendeklarasikan Partai Hati Nurani Rakyat atau Hanura pada 2006.

Sang Jendral tidak pantang menyerah setelah pada Pemilu 2004 gagal, kemudian maju sebagai cawapres dalam Pilpres 2009 berpasangan dengan Jusuf Kalla, dan kembali kalah oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono.

Saat pilpres 2014 yang kemudian dimenangi oleh pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla, Hanura, partai pimpinan Wiranto memberikan dukungan pada Jokowi.

Dua tahun berselang, Presiden Ke-7 Joko Widodo akhirnya memilih Jenderal (Purn) Wiranto sebagai Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan mengganti Luhut Binsar Pandjaitan dalam reshuffle Kabinet Kerja yang kedua.

Pada periode kedua kepemimpinan Presiden Jokowi, Jendral Wiranto dipercaya sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Presiden hingga akhir masa jabatan pada 20 Oktober 2024.

Kini sang Jendral mengemban amanah baru dari Presiden Prabowo Subianto yang secara resmi telah melantik mantan atasannya sebagai Penasihat Khusus Presiden Bidang Politik dan Keamanan.

Dengan pengalamannya yang segudang, baik di dunia militer maupun politik dan pernah menempati sejumlah jabatan strategis, maka tak salah Presiden Prabowo memilihnya.

Baca juga: Prabowo lantik tujuh Penasihat Khusus Presiden

Baca juga: Wiranto: Parpol berperan kuat hadirkan kepemimpinan transformasional