KLH inisiasi gerakan nasional BBM rendah sulfur
27 Juni 2014 15:00 WIB
Seorang pejalan kaki menyebrang di jalan yang tercemar asap kendaraan bermotor. Sekitar 70 persen pencemaran udara perkotaan diakibatkan paparan knalpot kendaraan bermotor yang per harinya mencapai 1000 kendaraan roda dua dan 400 kendaraan roda empat. (FOTO ANTARA/Aldino Anatusa)
Jakarta (ANTARA News) - Kementerian Lingkungan Hidup menginisiasi gerakan nasional penggunaan bahan bakar minyak (BBM) rendah sulfur untuk mengurangi pencemaran udara dari sektor transportasi.
"Kita berharap dalam lima tahun ke depan ada kepedulian dari masyarakat untuk menggunakan BBM rendah sulfur," kata Asisten Deputi Pengendalian Pencemaran Udara Sumber Bergerak Kementerian Lingkungan Hidup Novrizal Tahar di Jakarta, Jumat.
Dalam media briefing pengedalian pencemaran udara perkotaan tersebut, Novrizal mengatakan, akan dilakukan kampanye untuk penggunaan BBM rendah sulfur maupun BBM alternatif.
Dia menyebutkan, cukup banyak BBM yang rendah sulfur seperti BBM non premium, bahan bakar gas (BBG) maupun bahan bakar alternatif seperti biofuel dan hibryd.
Saat ini di Indonesia hampir 97 persen menggunakan BBM bersubsidi yang tinggi kandungan sulfur sehingga menghasilkan emisi yang jauh lebih kotor dibandingkan BBM non subsidi.
Sementara hanya 2,5 persen hingga 3,5 persen yang sudah menggunakan BBM non subsidi.
Contohnya untuk diesel kandungan sulfurnya masih di kisaran 2.000-3.000 ppm sedangkan yang sudah memenuhi standar Euro 4 adalah antara 50-500 ppm.
Sementara negara tetangga seperti Singapura kandungan sulfur pada BBM-nya hanya 10 ppm, Tiongkok 50 ppm, Thailand 50 ppm, Jepang dan Korea 10 ppm.
Tingginya kandungan sulfur pada BBM berdampak pada meningkatnya penyakit akibat polusi udara.
Dari penelitian yang dilakukan UNEP pada 2012, biaya kesehatan yang dikeluarkan warga Jakarta akibat pencemaran udara mencapai Rp38,5 triliun per tahun.
Selain itu, WHO juga merilis setiap tahunnya tujuh juta jiwa meninggal akibat pencemaran udara. Dari jumlah tersebut 60.000 kematian terjadi di Indonesia.
"Kita berharap dalam lima tahun ke depan ada kepedulian dari masyarakat untuk menggunakan BBM rendah sulfur," kata Asisten Deputi Pengendalian Pencemaran Udara Sumber Bergerak Kementerian Lingkungan Hidup Novrizal Tahar di Jakarta, Jumat.
Dalam media briefing pengedalian pencemaran udara perkotaan tersebut, Novrizal mengatakan, akan dilakukan kampanye untuk penggunaan BBM rendah sulfur maupun BBM alternatif.
Dia menyebutkan, cukup banyak BBM yang rendah sulfur seperti BBM non premium, bahan bakar gas (BBG) maupun bahan bakar alternatif seperti biofuel dan hibryd.
Saat ini di Indonesia hampir 97 persen menggunakan BBM bersubsidi yang tinggi kandungan sulfur sehingga menghasilkan emisi yang jauh lebih kotor dibandingkan BBM non subsidi.
Sementara hanya 2,5 persen hingga 3,5 persen yang sudah menggunakan BBM non subsidi.
Contohnya untuk diesel kandungan sulfurnya masih di kisaran 2.000-3.000 ppm sedangkan yang sudah memenuhi standar Euro 4 adalah antara 50-500 ppm.
Sementara negara tetangga seperti Singapura kandungan sulfur pada BBM-nya hanya 10 ppm, Tiongkok 50 ppm, Thailand 50 ppm, Jepang dan Korea 10 ppm.
Tingginya kandungan sulfur pada BBM berdampak pada meningkatnya penyakit akibat polusi udara.
Dari penelitian yang dilakukan UNEP pada 2012, biaya kesehatan yang dikeluarkan warga Jakarta akibat pencemaran udara mencapai Rp38,5 triliun per tahun.
Selain itu, WHO juga merilis setiap tahunnya tujuh juta jiwa meninggal akibat pencemaran udara. Dari jumlah tersebut 60.000 kematian terjadi di Indonesia.
Pewarta: Desi Purnamawati
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2014
Tags: