Jakarta (ANTARA) - Ketika COVID-19 pertama kali menyentuh bumi Indonesia di awal tahun 2020, tak seorang pun dapat membayangkan betapa dalamnya luka yang akan ditinggalkannya. Dari Sabang sampai Merauke, selama 2 tahun itu kehidupan seolah terhenti.

Jalan-jalan yang biasanya dipenuhi hiruk-pikuk manusia, mendadak sunyi. Sementara, rumah sakit berubah menjadi medan pertempuran, di mana para tenaga medis berjuang mati-matian melawan musuh yang tak kasat mata ini.

Menghadapi krisis tersebut, Presiden Joko Widodo, di tengah ketidakpastian yang melanda, memimpin dengan mengusung strategi “rem” dan “gas” – sebuah pendekatan dinamis untuk menyeimbangkan penanganan kesehatan masyarakat sekaligus menjaga kelangsungan ekonomi.

Penerapan strategi "dua pedal" ini menjadi kunci dari segala kebijakan Pemerintah selama masa pandemi untuk menghentikan penyebaran virus, dan di sisi lain mempertahankan ekonomi agar tetap bergerak.

Ketika “rem” ditekan, langkah-langkan ketat diberlakukan: Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) menjadi instrumen utama. Di seluruh negeri, sekolah-sekolah ditutup, perkantoran beralih ke sistem kerja dari rumah, dan bisnis terpaksa memperlambat laju operasinya. Kebijakan ini membuat banyak orang merasa terisolasi secara fisik dan emosional, terutama mereka yang mengandalkan penghasilan harian.

Sementara di sisi ekonomi, kebijakan “gas” dimaksudkan agar masyarakat tetap memiliki penghasilan, meski pada kenyataannya tantangan untuk mencapai keseimbangan ini jauh dari mudah.

Jokowi kala itu mengungkapkan betapa sulit menerapkan kebijakan manajemen "gas" dan "rem" dalam penanganan pandemi COVID-19 dan upaya menjaga stabilitas perekonomian nasional di Indonesia. Pasalnya, manajemen itu memerlukan perhitungan yang tepat.

"Menangani pandemi maupun mengatasi ekonomi kita sebuah tantangan yang sangat berat, persoalan yang sangat-sangat berat yang kita hadapi saat itu, dan tidak ada standarnya, tidak ada pakemnya karena memang kita semuanya belum memiliki pengalaman dalam menangani pandemi ini," ujar Jokowi pada awal tahun lalu.

Ketika pembatasan dilonggarkan untuk memberi ruang bagi roda ekonomi kembali berputar, misalnya, muncul kekhawatiran baru akan lonjakan kasus. Ini adalah realitas pahit yang dirasakan oleh banyak masyarakat, terutama mereka yang berada di sektor informal dan UMKM, yang setiap hari tanpa penghasilan adalah ancaman langsung terhadap kehidupan.

Selama 2 tahun penuh ketegangan dan ketidakpastian itu, rakyat Indonesia menyaksikan jumlah kasus yang terus meningkat.

Puncaknya kala varian Delta menghantam dengan keras pada Juli 2021. Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan mencatatkan jumlah tertinggi kasus harian, yakni 56.757 kasus, sementara total kematian mencapai 1.205 jiwa hanya dalam 1 hari. Hingga akhir tahun 2021, jumlah kumulatif kasus COVID-19 di Indonesia telah mencapai 4 juta kasus, dengan lebih dari 144 ribu nyawa melayang.

Di tengah badai nestapa ini, sistem kesehatan Indonesia nyaris runtuh. Rumah sakit di berbagai wilayah, terutama Sumatera, Jawa, dan Bali kehabisan tempat tidur. Stok oksigen medis menjadi sangat terbatas, bahkan langka di pasaran, sehingga banyak pasien terpaksa berjuang di rumah tanpa perawatan yang memadai. Tenaga medis yang berada di garis terdepan dan bekerja tanpa kenal lelah, sementara kelelahan fisik dan mental terus menghantui mereka.

Namun, di balik penderitaan ini, ada secercah harapan yang datang melalui program vaksinasi nasional yang dimulai pada Januari 2021.

Kala itu, Jokowi menjadi orang Indonesia pertama yang divaksin, dan ia berhasil menangkis keraguan publik terhadap vaksin COVID-19 setelah jarum suntik menusuk lengan kirinya.

Pemerintah menyadari bahwa vaksinasi adalah kunci untuk memulihkan keadaan, memacu “gas” melalui distribusi vaksin secara masif.

Hingga akhir tahun 2022, lebih dari 205 juta orang Indonesia telah mendapatkan vaksinasi, dengan lebih dari 172 juta di antaranya telah menerima dua dosis vaksin. Vaksin yang digunakan beragam merek dari luar negeri hingga produksi dalam negeri, yakni Vaksin Merah Putih.

Pada saat yang sama, Pemerintah juga menggencarkan pemberian booster atau dosis ketiga, terutama untuk memperkuat kekebalan populasi terhadap varian-varian baru yang terus bermunculan.

Program vaksinasi ini tidak hanya berhasil menurunkan angka kematian, tetapi juga memberikan dorongan besar bagi masyarakat untuk kembali beraktivitas.





Bangkit kembali

Alhasil, pada pertengahan 2022, jumlah kasus mulai menurun secara signifikan, memberi ruang bagi ekonomi untuk kembali bangkit, meski masih di bawah bayang-bayang pandemi.

Program Pemulihan Ekonomi Nasional atau PEN yang diluncurkan Pemerintah menjadi tulang punggung dalam menjaga stabilitas sosial dan ekonomi. Pada tahun 2021, Pemerintah mengalokasikan Rp744,75 triliun untuk program ini, anggaran yang lebih besar dibandingkan tahun sebelumnya senilai Rp695,2 triliun.

PEN mencakup pelbagai kebijakan yang dirancang untuk melindungi UMKM, memberikan bantuan sosial kepada masyarakat terdampak, dan menjaga sektor-sektor strategis agar tetap berjalan.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengumumkan bahwa hingga Oktober 2021, realisasi anggaran PEN telah mencapai Rp433,91 triliun atau sekitar 58,3 persen dari total pagu anggaran.

Namun, meskipun angka-angka tersebut menunjukkan upaya yang luar biasa, cerita di balik data ini jauh lebih manusiawi. Setiap kebijakan yang diambil Pemerintah mencerminkan upaya untuk menjaga kehidupan dan martabat rakyat.

Bantuan sosial tidak hanya berupa angka yang didistribusikan, tetapi juga tentang memastikan bahwa setiap keluarga yang terdampak bisa tetap memiliki harapan.

Program PEN, di satu sisi, menjadi penopang bagi mereka yang kehilangan pekerjaan dan pendapatan, sementara di sisi lain memberikan ruang bagi pelaku usaha untuk bertahan, bahkan tumbuh kembali.

Pada akhir tahun 2022, meskipun total kasus COVID-19 di Indonesia mencapai sekitar 6,7 juta, dengan 160 ribu korban jiwa, tanda-tanda pemulihan mulai terlihat jelas.

Vaksinasi massal dan kebijakan yang adaptif membantu menurunkan jumlah kasus harian, sementara aktivitas ekonomi mulai bergerak dan menunjukkan tanda-tanda kuat pemulihan.

Di balik angka tersebut ada perubahan yang lebih mendalam di masyarakat. Pandemi ini mengajarkan banyak orang untuk lebih peduli kepada kesehatan, untuk lebih menghargai waktu yang mereka habiskan bersama keluarga, dan untuk tetap menjaga kebersamaan di tengah kesulitan.

Bagi Pemerintah, pandemi ini adalah ujian yang luar biasa, bukan hanya soal menjaga keseimbangan antara “rem” dan “gas”, melainkan juga bagaimana cara membangun kembali kepercayaan publik meskipun tidak luput dari kritik dan tantangan.

Kebijakan yang diambil pun acap kali berubah dengan cepat beriringan dengan perkembangan situasi, dan ini--kadang--menimbulkan kebingungan di kalangan masyarakat.

Namun di tengah semua itu, Pemerintah berupaya keras untuk memberikan edukasi dan komunikasi yang transparan, dengan harapan bahwa setiap kebijakan yang diambil dipahami sebagai upaya bersama untuk melindungi seluruh rakyat Indonesia.

Pelajaran dari pandemi ini akan menjadi fondasi bagi Indonesia menghadapi krisis pada masa depan. Strategi “rem” dan “gas” bukan hanya soal menyeimbangkan sosial ekonomi tapi juga tentang fleksibilitas, empati, dan gotong-royong, tiga nilai yang memang melekat pada karakter bangsa ini.

Masa pemerintahan Jokowi pun berakhir setelah genap 10 tahun menakhodai bangsa ini. Kepemimpinannya bukan hanya meninggalkan jejak pembangunan fisik, melainkan juga menorehkan kenangan tentang sebuah bangsa yang mampu bertahan lalu bangkit di tengah badai dahsyat bernama pandemi COVID-19.

Berkat keteguhan dan keberanian pemimpin serta ketangguhan rakyatnya itu, Indonesia menemukan kekuatan baru dalam kebersamaan.

Seperti sungai yang terus mengalir, pertarungan yang diakhiri dengan kemenangan ini membawa gulungan arus cerita tentang perjuangan dan kebangkitan bangsa Indonesia. Ia menjadi lentera yang menerangi jalan menuju masa depan penuh dengan asa dan cinta Tanah Air.

Editor: Achmad Zaenal M