Jakarta (ANTARA News) - Menyunting teks pada dasarnya mengolah naskah untuk menghasilkan produk linguistik yang gramatikal, tak menyalahi kaidah bahasa dan meletakkan sudut pandang penulisan yang sesuai dengan bentuk tulisan, di samping menjaga akurasi fakta dan data.

Salah satu aspek yang hingga kini sering menimbulkan perdebatan yang berkepanjangan di ranah penyuntingan dalam bahasa tulis adalah persoalan berbahasa secara paradigmatik.

Masih banyak penyunting yang tak menguasasi asas-asas berbahasa secara paradigmatik itu, sekalipun pengetahuan umum tentang penyuntingan sudah mereka pahami.

Menyunting merupakan kerja teknis sekaligus kreatif penyunting dengan tujuan memperbaiki naskah berita atau artikel atau jenis tulisan lain yang mengandung kesalahan teknis penulisan ejaan, tata bahasa dan cacat substansi serta kelemahan retorika.

Syarat jadi penyunting: menguasai kaidah ejaan, tata bahasa, dan berpengetahuan mendalam dan luas yang berkaitan dengan substansi tulisan yang hendak disunting serta mahir dalam teknik penulisan.

Dengan begitu, seorang penyunting yang mahir mestinya juga berpengalaman sebagai penulis yang piawai.

Tiga kemampuan itu harus dimiliki seorang penyunting.

Ejaan: penyunting harus paham kaidah ejaan yang baku, atau yang dipakai dalam lingkup perusahaan media/penerbit. Penyunting harus cermat dalam menemukan kesalahan penggunaan koma, struktur kalimat dan maknanya .

Penyunting yang professional harus sabar membuka kamus ketika menemukan keraguan apakah ejaan yang standar itu hakikat atau hakekat; cengkeh atau cengkih; apotik atau apotek; nasihat atau nasehat, kantong atau kantung, terpercaya atau tepercaya.

Penyunting juga mesti paham apa beda petinju dan peninju; pemersatu dan penyatu.

Ini menyangkut makna kata yang pas untuk konteks kalimat tertentu. Mana yang benar antara permukimandan pemukiman; perhitungan dan penghitungan. Ini harus diketahui oleh penyunting.

Nah di sinilah letak pemahaman berbahasa secara paradigmatik itu. Masih banyak penyunting yang menggunakan kata-kata berimbuhan yang tak paradigmatik.

Contohnya: masih banyak penyunting yang menggunakan kata pedesaan padahal yang betul secara paradigmatik adalah perdesaan.

Juga untuk nomina abstrak perlindungan yang diturunkan dari verba melindungi, yang semestinya disunting menjadi pelindungan.

Kebanyakan penyunting juga tak menggunakan secara tepat kata berimbuhan yang merujuk pada makna learning dalam bahasa Inggris, yang Indonesianya mestinya dipadankan dengan pemelajaran, bukan pembelajaran sebagaimana salah kaprah yang berkelanjutan.

Dalam penyuntingan, soal gramatika juga cukup penting. Tidak sekadar komunikatif. Kalimat harus semakna antara yang dimaksud penulis dan yang dimengerti pembaca.

Kalimat harus mudah dipahami. Jika ada kalimat yang ruwet, penyuntinglah yang membuatnya jadi lugas, sederhana.

Contoh: Jika ada kalimat seperti ini: Suara merdu penyanyi yang menembangkan lagu keroncong itu diiringi oleh seorang pria yang memainkan bunyi petikan gitar klasik.

Kalimat ini tidak logis dan harus dibetulkan. Di manakah letak kesalahan logika dan makna kalimat di atas? Suara merdu penyanyi mestinya diiringi bunyi instrument musik, bukan diiringi pria.

Dalam perkara substansi, penyunting harus menyingkirkan kesalahan faktual dalam tulisan.

Misalnya ada fakta yang menyebut bahwa Soekarno pernah belajar di Leiden, Belanda. Fakta yang ngawur itu harus dibuang.

Kapan tepatnya Soeharto turun dari kursi kepresidenan dan kapan Gus Dur menjadi presiden adalah fakta keras yang tak bisa direka-reka.

Penyunting harus memastikan kebenaran sejarah yang berhubungan dengan fakta sejarah.

Penyunting idealnya seorang yang punya akumulasi pengetahuan atas bidang pengetahuan yang hendak disuntingnya.

Memang sekarang internet menyediakan fasilitas pengecekan fakta. Tapi jika tak punya banyak pengetahuan atas bidang

yang hendak disunting, sang penyunting akan menghabiskan waktu hanya untuk mengecek kebenaran substansial itu.

Apakah penyunting bisa mengubah gaya penulis? Tergantung sikap penulis!

Penulis yang kompromistis biasanya memberikan kewenangan soal gaya itu kepada penyunting.

Penulis yang keras kepala dalam mempertahankan gaya tidak memberi ruang pada penyunting untuk mengubah-ubah gaya penulisan.

Yang ketiga adalah sikap penulis yang membolehkan penyunting mengubah gaya hanya jika gaya itu mengganggu atau berpengaruh buruk pada isi keseluruhan tulisan.

Tentu saja sebelum mengubah, penyunting berdialog dengan penulis.

Sekedar info tambahan: novelis John Grisham pernah menyerahkan sekitar 1000 halaman naskah dan setelah disunting, dengan dialog panjang antara penulis dan penyunting, yang diserahkan ke penerbit dan siap cetak tak lebih dari 600 halaman. Sekitar 40 persen dibuang!

Seorang penyunting harus sanggup menutup lubang dan menjawab tanda tanya yang muncul dalam naskah.

Namun ikhiar memperkaya naskah ini, betapapun bermaknanya, tidak berarti jika tugas utama penyunting "menyingkirkan kesalahan dalam teks" tak dilaksanakan dengan optimal, untuk tidak mengatakan dengan sempurna.

Jadi sungguh berat tugas seorang penyunting!

Di dunia perusahaam pers, penyunting dipilih dari kalangan wartawan yang lulus dalam tiga hal di atas: mahir berbahasa, berpengetahuan mandalam dan menguasai retorika penulisan.

Satu saja dari ketiga hal itu tak dipenuhi, gagallah dia sebagai penyunting.