Jakarta (ANTARA News) - Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia(GPEI) mengusulkan kepada pemerintah agar memanfaatkan jasa surveyor guna memeriksa setiap kayu yang akan diekspor, karena pengunaan jasa surveyor bisa menekan pembalakan liar (illegal logging) yang setiap tahunnya menimbulkan kerugian triliunan rupiah. "Mestinya setiap ekspor kayu diperiksa dahulu oleh surveyor seperti halnya yang diterapkan di Papua Nugini," kata Ketua Umum GPEI, Amiruddin Saud, kepada ANTARA di Jakarta, Selasa pagi ketika dimintai komentarnya tentang pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahwa pembalakan liar merupakan musuh bersama rakyat dan pemerintah. Ketika mengadakan temu wicara dengan para petani di Jember hari Minggu, Kepala Negara menegaskan rakyat harus mengikuti secara seksama setiap proses peradilan terhadap para pembalak liar karena banyak hakim yang hanya menjatuhkan hukuman sangat ringan terhadap pelaku "illegal logging". "Negara dirugikan bertriliun-triliun rupiah setiap tahunnya oleh mereka. Hutan dibabat oleh mereka yaitu tidak hanya orang-orang Indonesia tapi juga orang yang bukan berasal dari Indonesia," kata Presiden. Ketika mengomentari pernyataan Kepala Negara, Amiruddin kemudian memberi contoh terhadap kebijaksanan pemerintah Papua Nugini yang mengharuskan setiap penebangan pohon baik untuk kepentingan dalam negeri maupun ekspor diperiksa dahulu oleh surveyor. "Setiap ekspor kayu dari Papua Nugini harus dilengkapi dengan sertifikat surveyor," kata Ketua Umum GPEI tersebut. Indonesia pada 1985 melalui Inpres 4/85 mengharuskan setiap impor diperiksa dahulu oleh surveyor Societe Generale de Surveillance(SGS) dari Swiss. Pemeriksaan oleh petugas SGS dilakukan di pelabuhan pemuatan di negara asal barang, sehingga tidak ada lagi pemeriksaan di pelabuhan kedatangan di tanah air oleh petugas Ditjen Bea dan Cukai. Kegiatan oleh SGS itu hampir berlangsung selama 10 tahun dan kemudian pemeriksaan terhadap barang impor dilakukan lagi oleh petugas Bea Cukai di pelabuhan kedatangan. Amiruddin mengingatkan pemerintah tidak perlu mengeluarkan biaya untuk membayar jasa surveyor yang memeriksa kayu yang akan diekspor itu, karena biaya bisa dibebankan kepada perusahaan yang akan mengekspor hasil hutan. "Pemerintah tidak perlu mengeluarkan uang satu sen pun dan SGS pasti tidak akan berani main-main," kata Amiruddin yang juga merupakan Ketua Umum Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonersia (GINSI). Ekspor berbagai komoditas Indonesia pada 2006 diperkirakan bisa mencapai 100 miliar dolar AS dan diharapkan pada tahun mendatang bisa naik menjadi 110 hingga 120 miliar dolar. Menurut GPEI, harga ekspor berbagai komoditas pertanian dan kehutanan semakin membaik di pasaran internasional, sehingga Indonesia bisa meraih semakin banyak devisa dari sektor ini. (*)