Purwokerto (ANTARA) - Pakar hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Prof. Hibnu Nugroho mendukung Sanitiar (St.) Burhanuddin yang kembali dipercaya untuk menjadi Jaksa Agung pada kabinet pemerintahan mendatang.

"Sejak pemanggilan Pak St. Burhanuddin yang akan diangkat kembali sebagai Jaksa Agung pada kabinet Prabowo-Gibran, ini tampaknya ada orang-orang yang 'tidak suka', terutama adalah koruptor," kata Prof. Hibnu di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Sabtu malam.

Prof. Hibnu mengungkapkan bahwa "ketidaksukaan" orang-orang yang ada dugaan berasal dari kalangan koruptor itu karena St. Burhanuddin selama menjadi Jaksa Agung mampu membawa Kejaksaan Agung mendapatkan reputasi tertinggi dalam penegakan hukum.

Menurut dia, hal itu prestasi yang luar biasa karena Kejaksaan Agung mampu mengungkap perkara-perkara yang bersentuhan dengan masyarakat seperti kasus korupsi minyak goreng, impor beras, impor garam, kasus Duta Palma Group, Asuransi Jiwasraya, Asabri, dan terakhir masalah tambang.

"Yang lebih menjadi PR lagi, adik Pak Prabowo Subianto, yakni Pak Hashim Djojohadikusumo memberikan sinyal berdasarkan data BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) bahwa ada kebocoran pajak dalam pertambangan yang nilainya lebih dari Rp300 triliun," katanya.

Menurut dia, hal itu merupakan PR yang harus dijawab dan ditangani oleh para penegak hukum pada kabinet Prabowo Subianto.

"Dengan demikian, Pak Prabowo tidak mau main-main sehingga memilih Pak St. Burhanuddin untuk tetap berkelanjutan dalam pengungkapan kasus-kasus korupsi," katanya menegaskan.

Oleh karena itu, pihaknya sebagai bagian dari masyarakat Indonesia sangat mendukung kebijakan Prabowo yang kembali mengangkat St. Burhanuddin sebagai Jaksa Agung untuk pemberantasan berbagai megakorupsi.

Hal itu, lanjut dia, fungsi Kejaksaan Agung saat sekarang tidak hanya menindak, tetapi juga sebagai pengawal pembangunan nasional.

Baca juga: Pakar hukum: Serangan terhadap Jaksa Agung untuk melemahkan Kejagung
Baca juga: Jaksa Agung raih penghargaan atas kesuksesan program Jaga Desa


Dengan demikian, lIndonesia di bawah kepemimpinan Presiden RI Prabowo ke depan betul-betul mampu mencerminkan rakyat yang adil dan makmur.

Menurut dia, hal itu disebabkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) di Indonesia saat sekarang tidak bergerak karena masih berada pada angka 40 meskipun dengan penanganan kasus korupsi yang luar biasa oleh Kejaksaan Agung.

"Dahulu pernah di angka 34. Ini suatu reputasi yang sangat jelek sehingga saya melihat Pak Prabowo tidak main-main dalam hal ini, bagaimana menaikkan Indeks Persepsi Korupsi di Indonesia, sehingga bisa ke 30 atau 34," katanya.

Dengan demikian, kata dia, Indonesia tidak dipandang oleh negara lain sebagai negara koruptor.

Menurut dia, upaya Prabowo Subianto yang ingin menaikkan IPK tersebut dengan kembali mengangkat St. Burhanuddin sebagai Jaksa Agung harus didukung sehingga Kejaksaan Agung dapat menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya.

"IPK kita pernah 34, sekarang 40, ini tantangan besar, di mana letaknya, kebocoran di mana. Kemarin Pak Hashim sudah menyatakan ada kebocoran lebih dari Rp300 triliun kasus pajak tambang," katanya menegaskan.

Karena menjadi PR besar dalam pemberantasan korupsi, kata dia, Kejaksaan Agung dan Kepolisian Negara Republik Indonesia harus tegas dalam penanganan kasus dugaan kebocoran pajak pertambangan itu.

Dalam beberapa waktu terakhir ini, kata dia, muncul berita-berita yang diduga sengaja dimunculkan oleh para koruptor untuk melemahkan Kejaksaan Agung.

Kendati demikian, dia mengemukakan bahwa Jaksa Agung St. Burhanuddin dalam menanggapi berita-berita tersebut justru dengan menunjukkan bagaimana Kejaksaan Agung bekerja dengan baik dalam mengawal pembangunan dan menangani kasus korupsi yang bersentuhan dengan masyarakat.

"Itu saya kira yang lebih optimal, kita dorong sebagai masyarakat. Oleh karena itu, saya kira sangat tepat kalau Pak St. Burhanuddin kembali menjadi Jaksa Agung karena dalam penanganan korupsi butuh pengalaman, butuh reputasi, butuh keberanian, apalagi dengan adanya PR besar itu, Pak Jaksa Agung berani," kata Prof. Hibnu.