Jakarta (ANTARA News) - Komisioner Komnas HAM, Natalis Pigai, menilai perintah penculikan sejumlah aktivis pada 1998 seharusnya dilakukan secara tertulis, karena berdampak sistemik.

Kata dia, seandainya Prabowo Subianto selaku mantan komandan jenderal Kopassus TNI AD --yang dituding bertanggung jawab atas penculikan-- dapat menunjukkan ada perintah tertulis dari atasannya kala itu, citra Prabowo menjadi baik.

"Perintah operasi (penculikan aktivis) seharusnya tertulis karena itu dampaknya sistemik. Yang menjadi persoalan, perintah itu tidak tertulis," kata Pigai, di Jakarta, Selasa.

Sebagai tentara, Prabowo memiliki beberapa atasan; yang langsung adalah Kepala Staf TNI AD, Jenderal TNI (Purnawirawan) Subagyo HS, selanjutnya Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima ABRI, Jenderal TNI (Purnawirawan) Wiranto.

Sedangkan ABRI sebagaimana kini TNI, memiliki panglima tertinggi, yaitu presiden (saat itu Soeharto).

Pigai mengatakan, penangkapan aktivis yang pada gilirannya disebut sebagai penculikan itu, kini menjadi sejarah kelam bangsa, sebab penculikan atau pembunuhan, tidak pernah ditolerir dari sudut pandang HAM.

Sebelumnya mantan Asisten Teritorial Kepala Staf TNI AD, Mayor Jenderal (Purnawirawan) Saurip Kadi, angkat bicara mengenai peristiwa penculikan aktivis 1998 disebut-sebut tanggung jawab Prabowo.

Menurut Kadi, untuk menilai sesuatu kasus harus menggunakan norma dan tolak ukur nilai yang dipakai saat itu. Karena jika dengan nilai kekinian tidak akan relevan.

Kadi menjelaskan, pada era 1998, terdapat status pada Kopassus TNI AD, yakni komando utama pembinaan.

Sebagai komando utama pembinaan, komandannya hanya bertugas dan berwenang melatih, membina, dan menyiapkan prajurit sampai pada kondisi optimal sesuai keperluan. Sedangkan pada status komando utama operasional, dia hanya bisa digerakkan oleh panglima ABRI/TNI atau presiden.

"Kopassus TNI AD itu khan di komando utama pembinaan, maka tidak berwenang di luar pembinaan, bahkan untuk gerak jalan atau lari saja garnisun setempat harus tahu. Dengan demikian kita bisa menilai penculikan aktivis 1998 oleh Kopassus TNI AD (melalui pembentukan Tim Mawar), posisinya bagaimana," ujar Kadi.

Dia menekankan Kopassus TNI AD --di bawah pimpinan Prabowo selaku komandan jenderalnya kala itu-- hanya bisa melakukan operasi (penculikan), apabila mendapatkan perintah dari panglima ABRI (Wiranto) atau presiden (Soeharto).

"Tetapi hal itu dengan catatan apabila dia diperintah bukan oleh atasan langsungnya, maka dia harus melapor ke atasan langsungnya tersebut. Tapi karena Prabowo merasa tidak mendapat perintah dari panglima ABRI kala itu, maka siapa pun yang melakukan, harus dilakukan investigasi," ujar Kadi.

Oleh karena itu, kata Kadi, kala itu Wiranto membentuk Dewan Kehormatan Perwira untuk menginvestigasi Prabowo.

Beberapa pihak menilai hal ini upaya menjegal Prabowo dalam kontestasi Pemilu Presiden 2014.