Jakarta (ANTARA News) - Hingga putaran ketiga, konstelasi penguasaan isu dalam debat calon presiden masih belum berubah. Prabowo masih menunjukkan kelasnya sebagai calon presiden yang menguasai isu makro, sementara Jokowi menguasai isu mikro.


"Kalau diibaratkan mobil, Prabowo ini produsen mobil. Dia punya visi yang jauh tentang industri otomotif. Sementara Jokowi seperti montir, dia tahu detilnya hanya jika mobil rusak," kata pengamat politik dari UIN Sunan Kalijaga, Iswandi Syahputra, di Jakarta, Senin.



Dia menanggapi debat ketiga para calon presiden, semalam (22/6), yang mengangkat tema Politik Internasional dan Ketahanan Nasional, sebenarnya cukup menarik.




"Pada bagian awal, baik Prabowo maupun Jokowi cukup seimbang menarik perhatian. Jokowi bahkan banyak sampaikan agenda ambisius, yaitu drone, perang cyber, dan perang hibrida," ujarnya. Keduanya cukup tegang dalam bertanya-jawab.


Namun demikian, Iswandi meragukan gagasan drone, perang cyber dan perang hibrida itu orisinil gagasan Jokowi.



Pasalnya, selain teknologinya masih kategori rahasia, biaya yang dibutuhkan juga sangat besar.




"Menurut laporan Darpa Budget Summary Reports sejak 2008 hingga 2014 Amerika Serikat habiskan sekitar 766. 839.000 dolar Amerika Serikat untuk proyek drone itu. Beli bus saja dapat yang karatan, bagaimana mau beli drone?," tanya dia.

Memasuki sesi tanya-jawab mulai terlihat Jokowi tidak begitu mahir menguasai politik internasional.



"Jawaban Jokowi soal Laut China Selatan menunjukkan dirinya tidak menguasai isu politik kontemporer yang berkembang di kawasan ASEAN," katanya.

Menurut Iswandi, dalam debat calon presiden Jokowi sebenarnya cukup cerdik. Jokowi ingin masuk pada isu populis seperti pembelian kembali Indosat atau panser Anoa, buatan PT Pindad.



Namun isu itu justru menjadi blunder bagi Jokowi. "Jokowi bilang Indosat dijual Megawati karena alasan krisis," kata dia.



Padahal di zaman Habibie dan Gus Dur lebih parah krisisnya, tapi tidak ada aset negara yang dijual.




Soal panser Anoa, itu khan proyek kerja sama. Suku cadangnya tetap didatangkan dari luar, kalau tidak salah Prancis. Ini mirip proyek mobil Esemka. Suku cadang dari China tapi diproduksi di Indonesia. Inilah bentuk model neokolonialisme itu," kata dia.