FAO soroti statistik kelaparan yang mengkhawatirkan, Gaza paling parah
17 Oktober 2024 15:50 WIB
Wakil Direktur Jenderal FAO, Beth Bechdol, menekankan bahwa 733 juta orang di seluruh dunia menghadapi kelaparan pada tahun 2023, dengan Gaza mengalami salah satu krisis pangan paling parah yang pernah tercatat. /ANTARA/Anadolu/py
Roma (ANTARA) - Wakil Direktur Jenderal FAO, Beth Bechdol, menekankan bahwa sebanyak 733 juta orang di seluruh dunia menghadapi kelaparan pada tahun 2023, dengan Gaza mengalami salah satu krisis pangan paling parah yang pernah tercatat.
FAO didirikan di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa setelah Perang Dunia II pada 16 Oktober 1945 untuk menangani tantangan terkait pangan, nutrisi, dan pertanian.
Sejak 1979, tanggal ini diperingati sebagai Hari Pangan Sedunia.
Pada Rabu (16/10), FAO menyelenggarakan diskusi tentang masalah pangan dan pertanian global, dengan tema tahun ini berfokus pada hak asasi manusia atas pangan.
Dalam wawancara tertulis dengan Anadolu, Bechdol menyoroti keseriusan masalah kelaparan global, terutama di wilayah konflik seperti Gaza, Sudan, Haiti, dan Ukraina.
"Pada tahun 2023, sekitar 733 juta orang menghadapi kelaparan. Ini setara dengan satu dari sebelas orang secara global dan satu dari lima orang di Afrika. Ini tidak dapat diterima," katanya.
"Hampir setengah populasi dunia saat ini tidak mendapatkan nutrisi yang mereka butuhkan untuk berkembang, dan dalam beberapa kasus, bertahan hidup. Hak atas pangan adalah hak asasi manusia yang mendasar, dan ini adalah tanggung jawab kolektif. Kita harus melakukan yang lebih baik."
Bechdol mengidentifikasi konflik, krisis iklim, dan guncangan ekonomi sebagai penyebab utama kelaparan, yang semakin memperburuk populasi yang rentan.
Krisis pangan Gaza
Mengenai Gaza, Bechdol menekankan kehancuran yang disebabkan oleh lebih dari satu tahun serangan Israel.
“Kita semua menyadari betapa seriusnya situasi di Gaza dengan 96 persen populasi berada di IPC Phases 3 ke atas, dalam fase krisis, darurat, dan bencana kelaparan akut, menurut laporan IPC terakhir yang dirilis pada Juni. Kita berbicara tentang lebih dari 2 juta orang yang menghadapi kelaparan setiap hari,” paparnya.
IPC merujuk pada Integrated Food Security Phase Classification (IPC), yaitu sistem yang digunakan untuk mengukur tingkat kerawanan pangan di suatu wilayah.
Sistem tersebut membagi kerawanan pangan menjadi beberapa fase atau tingkatan berdasarkan tingkat keparahannya.
Dia menambahkan bahwa penilaian terbaru dengan Pusat Satelit PBB mengungkapkan kerusakan signifikan pada lahan pertanian di Gaza.
“Menurut penilaian kami, hingga 1 September 2024, lebih dari dua pertiga lahan pertanian di Gaza telah rusak. Besarnya kerusakan ini menimbulkan kekhawatiran serius tentang potensi produksi pangan sekarang dan di masa depan, karena bantuan pangan saja tidak dapat memenuhi kebutuhan harian (baik dari segi kuantitas maupun kualitas nutrisi) bagi rakyat Gaza.”
Bechdol menegaskan bahwa perdamaian sangat penting untuk memastikan ketahanan pangan, karena tanpa perdamaian, stabilitas produksi pangan tidak dapat tercapai.
Krisis wilayah lain
Bechdol juga membahas situasi kritis di wilayah konflik lainnya:
"Di Ukraina, sektor pertanian tetap utuh tetapi rapuh. Sektor pertanian telah mengalami kerusakan dengan total lebih dari 80 juta dolar AS (sekitar Rp1,2 triliun), di mana 1,4 juta dolar AS (Rp21,8 miliar) terkait dengan irigasi dan sumber daya air. Kerusakan infrastruktur penyimpanan telah mengurangi kapasitas hingga 14 juta ton. FAO khawatir tentang profitabilitas dan hasil panen 2024 di Ukraina," ungkapnya.
Dia juga menambahkan, "Di Sudan, konflik terbaru mengubah krisis kemanusiaan menjadi bencana besar, mengonfirmasi kondisi kelaparan di beberapa bagian Darfur. FAO mendesak penghentian segera permusuhan, peningkatan cepat bantuan pangan, gizi, dan tunai, serta bantuan pertanian darurat."
Lebih lanjut ia mengatakan, “Sudan sangat bergantung pada sektor pertanian, dengan hampir 65 persen populasinya bekerja di sektor ini. Produksi sereal turun 46 persen dibandingkan tahun lalu, dengan penurunan hingga 80 persen di Kordofan/Darfur Besar, dan kegagalan total di Darfur Barat".
"Meski dalam konteks yang sangat menantang, hingga 29 Agustus, FAO telah menjangkau lebih dari 1,97 juta orang dengan benih sereal bergizi tinggi, yang memungkinkan mereka memproduksi makanan cukup untuk keluarga beranggotakan lima orang selama 12 bulan,” tambahnya.
Di Haiti, lebih dari 5,4 juta orang menghadapi kerawanan pangan akut, yang diperparah oleh faktor-faktor seperti El Nino dan musim badai yang diperkirakan akan parah.
Sebanyak 75 persen populasi yang mengalami kerawanan pangan berada di pedesaan, menjadikan dukungan pertanian sangat penting untuk kelangsungan hidup.
Bechdol menutup jawaban wawancara dengan menekankan pentingnya upaya internasional yang mendesak untuk menangani kelaparan dan mendukung wilayah-wilayah yang terkena dampak tersebut.
Sumber: Anadolu
Baca juga: FAO salurkan dana Rp7,5 miliar untuk Regenerasi Petani di Indonesia
Baca juga: Presiden terima penghargaan tertinggi bidang pangan dari FAO
FAO didirikan di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa setelah Perang Dunia II pada 16 Oktober 1945 untuk menangani tantangan terkait pangan, nutrisi, dan pertanian.
Sejak 1979, tanggal ini diperingati sebagai Hari Pangan Sedunia.
Pada Rabu (16/10), FAO menyelenggarakan diskusi tentang masalah pangan dan pertanian global, dengan tema tahun ini berfokus pada hak asasi manusia atas pangan.
Dalam wawancara tertulis dengan Anadolu, Bechdol menyoroti keseriusan masalah kelaparan global, terutama di wilayah konflik seperti Gaza, Sudan, Haiti, dan Ukraina.
"Pada tahun 2023, sekitar 733 juta orang menghadapi kelaparan. Ini setara dengan satu dari sebelas orang secara global dan satu dari lima orang di Afrika. Ini tidak dapat diterima," katanya.
"Hampir setengah populasi dunia saat ini tidak mendapatkan nutrisi yang mereka butuhkan untuk berkembang, dan dalam beberapa kasus, bertahan hidup. Hak atas pangan adalah hak asasi manusia yang mendasar, dan ini adalah tanggung jawab kolektif. Kita harus melakukan yang lebih baik."
Bechdol mengidentifikasi konflik, krisis iklim, dan guncangan ekonomi sebagai penyebab utama kelaparan, yang semakin memperburuk populasi yang rentan.
Krisis pangan Gaza
Mengenai Gaza, Bechdol menekankan kehancuran yang disebabkan oleh lebih dari satu tahun serangan Israel.
“Kita semua menyadari betapa seriusnya situasi di Gaza dengan 96 persen populasi berada di IPC Phases 3 ke atas, dalam fase krisis, darurat, dan bencana kelaparan akut, menurut laporan IPC terakhir yang dirilis pada Juni. Kita berbicara tentang lebih dari 2 juta orang yang menghadapi kelaparan setiap hari,” paparnya.
IPC merujuk pada Integrated Food Security Phase Classification (IPC), yaitu sistem yang digunakan untuk mengukur tingkat kerawanan pangan di suatu wilayah.
Sistem tersebut membagi kerawanan pangan menjadi beberapa fase atau tingkatan berdasarkan tingkat keparahannya.
Dia menambahkan bahwa penilaian terbaru dengan Pusat Satelit PBB mengungkapkan kerusakan signifikan pada lahan pertanian di Gaza.
“Menurut penilaian kami, hingga 1 September 2024, lebih dari dua pertiga lahan pertanian di Gaza telah rusak. Besarnya kerusakan ini menimbulkan kekhawatiran serius tentang potensi produksi pangan sekarang dan di masa depan, karena bantuan pangan saja tidak dapat memenuhi kebutuhan harian (baik dari segi kuantitas maupun kualitas nutrisi) bagi rakyat Gaza.”
Bechdol menegaskan bahwa perdamaian sangat penting untuk memastikan ketahanan pangan, karena tanpa perdamaian, stabilitas produksi pangan tidak dapat tercapai.
Krisis wilayah lain
Bechdol juga membahas situasi kritis di wilayah konflik lainnya:
"Di Ukraina, sektor pertanian tetap utuh tetapi rapuh. Sektor pertanian telah mengalami kerusakan dengan total lebih dari 80 juta dolar AS (sekitar Rp1,2 triliun), di mana 1,4 juta dolar AS (Rp21,8 miliar) terkait dengan irigasi dan sumber daya air. Kerusakan infrastruktur penyimpanan telah mengurangi kapasitas hingga 14 juta ton. FAO khawatir tentang profitabilitas dan hasil panen 2024 di Ukraina," ungkapnya.
Dia juga menambahkan, "Di Sudan, konflik terbaru mengubah krisis kemanusiaan menjadi bencana besar, mengonfirmasi kondisi kelaparan di beberapa bagian Darfur. FAO mendesak penghentian segera permusuhan, peningkatan cepat bantuan pangan, gizi, dan tunai, serta bantuan pertanian darurat."
Lebih lanjut ia mengatakan, “Sudan sangat bergantung pada sektor pertanian, dengan hampir 65 persen populasinya bekerja di sektor ini. Produksi sereal turun 46 persen dibandingkan tahun lalu, dengan penurunan hingga 80 persen di Kordofan/Darfur Besar, dan kegagalan total di Darfur Barat".
"Meski dalam konteks yang sangat menantang, hingga 29 Agustus, FAO telah menjangkau lebih dari 1,97 juta orang dengan benih sereal bergizi tinggi, yang memungkinkan mereka memproduksi makanan cukup untuk keluarga beranggotakan lima orang selama 12 bulan,” tambahnya.
Di Haiti, lebih dari 5,4 juta orang menghadapi kerawanan pangan akut, yang diperparah oleh faktor-faktor seperti El Nino dan musim badai yang diperkirakan akan parah.
Sebanyak 75 persen populasi yang mengalami kerawanan pangan berada di pedesaan, menjadikan dukungan pertanian sangat penting untuk kelangsungan hidup.
Bechdol menutup jawaban wawancara dengan menekankan pentingnya upaya internasional yang mendesak untuk menangani kelaparan dan mendukung wilayah-wilayah yang terkena dampak tersebut.
Sumber: Anadolu
Baca juga: FAO salurkan dana Rp7,5 miliar untuk Regenerasi Petani di Indonesia
Baca juga: Presiden terima penghargaan tertinggi bidang pangan dari FAO
Penerjemah: Primayanti
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2024
Tags: