BRIN ajak warga berpartisipasi cegah kebakaran lahan dengan Simocakap
17 Oktober 2024 14:15 WIB
Arsip - Api merambat membakar batang pohon di lahan gambut perkebunan masyarakat di Kecamatan Dumai Timur, Dumai, Riau, Minggu (24/3/2024). Musim kemarau panjang yang melanda di daerah tersebut membuat kebakaran lahan semakin meluas dan kabut asap mulai menyelimuti daerah itu pada malam hari sementara pihak BPBD dan Manggala Agni terus berupaya memadamkan api di lokasi yang baru terbakar. (ANTARA FOTO/Aswaddy Hamid/nym)
Jakarta (ANTARA) - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengajak seluruh masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam upaya pencegahan kebakaran lahan melalui aplikasi Sistem Monitoring Cuaca, Kebakaran Lahan, dan Kabut Asap (Simocakap).
Kepala Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN Albertus Sulaiman melalui keterangan di Jakarta, Kamis menerangkan Simocakap merupakan aplikasi yang dikembangkan melalui kerja sama BRIN dengan CSEAS-Kyoto University, STAIN Bengkalis, Politeknik Bengkalis dan Universitas Riau.
"Tujuannya untuk memahami bagaimana interaksi antara karbon dan water level di lahan gambut yang ada di Riau dan Pulau Bengkalis dan hubungannya dengan dinamika atmosfer dan iklim yang diyakini mempengaruhi sirkulasi global dunia," katanya.
Saat terjadi musim kemarau, papar Sulaiman, ground water level di lahan gambut menurun sehingga menjadi mudah terbakar dan mengemisikan karbon akibat proses dekomposisi yang ada di lahan gambut.
Baca juga: KLHK pastikan kebakaran hutan dan lahan terkendali pada tahun ini
Baca juga: Pemerintah fokus pencegahan kebakaran hutan dan lahan tingkat tapak
Lahan gambut yang mulai mengering, kata dia, menjadi sangat mudah terbakar dan memicu terjadi kebakaran lahan dan hutan gambut yang bisa berlangsung dalam waktu yang cukup lama.
Sulaiman menjelaskan tanah gambut memiliki karakteristik unik yang membedakannya dari jenis tanah lainnya, di mana ciri-cirinya yakni berwarna hitam atau coklat tua dengan tekstur yang lembut, ringan, dan memiliki kandungan air tinggi sehingga membuat tanah gambut sangat lembab dan mudah terkompresi.
Karena kandungan organiknya yang tinggi, lanjut dia, tanah gambut juga memiliki kapasitas penyimpanan karbon yang besar sehingga menjadikannya salah satu ekosistem penting dalam mitigasi perubahan iklim.
"Namun, tanah gambut juga rentan terhadap kerusakan ketika dikeringkan untuk keperluan pertanian atau pembangunan. Bahan organik yang sebelumnya terendam air mulai terdekomposisi dengan cepat lalu melepaskan karbondioksida ke atmosfer dan berkontribusi terhadap pemanasan global," jelasnya.
Sulaiman melanjutkan tanah gambut yang kering bersifat sangat mudah terbakar, sehingga dapat menyebabkan kebakaran lahan gambut yang sulit dipadamkan dan menghasilkan asap yang berbahaya bagi kesehatan manusia.
Oleh karenanya, ia menyebut aplikasi Simocakap bisa menjadi hal yang berguna sebagai alat untuk mencegah kebakaran hutan dengan partisipasi masyarakat.
"Mari kita sama-sama gunakan Simocakap supaya alam tetap lestari, tapi kita juga tetap membangun. Ke depannya kita akan selalu punya motto yaitu bekerja sama dengan alam. Alam harus tetap lestari tetapi pembangunan harus tetap berjalan," tutur Albertus Sulaiman.
Baca juga: BPBD OKU Timur catat 35 kasus karhutla selama musim kemarau
Baca juga: KLHK: Kebakaran hutan Jateng capai 183 hektare
Kepala Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN Albertus Sulaiman melalui keterangan di Jakarta, Kamis menerangkan Simocakap merupakan aplikasi yang dikembangkan melalui kerja sama BRIN dengan CSEAS-Kyoto University, STAIN Bengkalis, Politeknik Bengkalis dan Universitas Riau.
"Tujuannya untuk memahami bagaimana interaksi antara karbon dan water level di lahan gambut yang ada di Riau dan Pulau Bengkalis dan hubungannya dengan dinamika atmosfer dan iklim yang diyakini mempengaruhi sirkulasi global dunia," katanya.
Saat terjadi musim kemarau, papar Sulaiman, ground water level di lahan gambut menurun sehingga menjadi mudah terbakar dan mengemisikan karbon akibat proses dekomposisi yang ada di lahan gambut.
Baca juga: KLHK pastikan kebakaran hutan dan lahan terkendali pada tahun ini
Baca juga: Pemerintah fokus pencegahan kebakaran hutan dan lahan tingkat tapak
Lahan gambut yang mulai mengering, kata dia, menjadi sangat mudah terbakar dan memicu terjadi kebakaran lahan dan hutan gambut yang bisa berlangsung dalam waktu yang cukup lama.
Sulaiman menjelaskan tanah gambut memiliki karakteristik unik yang membedakannya dari jenis tanah lainnya, di mana ciri-cirinya yakni berwarna hitam atau coklat tua dengan tekstur yang lembut, ringan, dan memiliki kandungan air tinggi sehingga membuat tanah gambut sangat lembab dan mudah terkompresi.
Karena kandungan organiknya yang tinggi, lanjut dia, tanah gambut juga memiliki kapasitas penyimpanan karbon yang besar sehingga menjadikannya salah satu ekosistem penting dalam mitigasi perubahan iklim.
"Namun, tanah gambut juga rentan terhadap kerusakan ketika dikeringkan untuk keperluan pertanian atau pembangunan. Bahan organik yang sebelumnya terendam air mulai terdekomposisi dengan cepat lalu melepaskan karbondioksida ke atmosfer dan berkontribusi terhadap pemanasan global," jelasnya.
Sulaiman melanjutkan tanah gambut yang kering bersifat sangat mudah terbakar, sehingga dapat menyebabkan kebakaran lahan gambut yang sulit dipadamkan dan menghasilkan asap yang berbahaya bagi kesehatan manusia.
Oleh karenanya, ia menyebut aplikasi Simocakap bisa menjadi hal yang berguna sebagai alat untuk mencegah kebakaran hutan dengan partisipasi masyarakat.
"Mari kita sama-sama gunakan Simocakap supaya alam tetap lestari, tapi kita juga tetap membangun. Ke depannya kita akan selalu punya motto yaitu bekerja sama dengan alam. Alam harus tetap lestari tetapi pembangunan harus tetap berjalan," tutur Albertus Sulaiman.
Baca juga: BPBD OKU Timur catat 35 kasus karhutla selama musim kemarau
Baca juga: KLHK: Kebakaran hutan Jateng capai 183 hektare
Pewarta: Sean Filo Muhamad
Editor: Indra Gultom
Copyright © ANTARA 2024
Tags: