Peneliti: Politik luar negeri tak boleh berdasarkan sentimen publik
16 Oktober 2024 18:48 WIB
Senior Fellow CSIS (Center for Strategic and International Studies) Dr. Rizal Sukma dalam webinar terkait Konflik Rusia-Ukraina: Sanksi Ekonomi dan Implikasi Global, Regional dan Lokal, Jakarta, Kamis (7/4/2022). (ANTARA/Katriana)
Jakarta (ANTARA) - Peneliti senior CSIS Rizal Sukma menilai bahwa politik luar negeri tidak boleh berdasarkan sentimen publik atau didasarkan pada nostalgia.
“Karena politik luar negeri itu harus didasarkan kepada kalkulasi objektif mengenai ‘the interest of the day’,” kata Rizal pada diskusi yang dipantau secara daring di Jakarta, Rabu.
Menurut Rizal, politik luar negeri juga tidak boleh 100 persen berdasarkan kepentingan nasional, tetapi juga mencerminkan keseimbangan antara kepentingan nasional dan kewajiban internasional.
“Karena kewajiban internasional adalah bagian dari kepentingan nasional menurut saya,” ujar Rizal.
Rizal melanjutkan, tantangan Indonesia dalam menjalankan politik luar negerinya semakin besar.
Tantangannya itu adalah, menurut Rizal, memastikan bahwa Indonesia tetap memiliki dan mempertahankan strategi otonomi di antara negara-negara adidaya.
Menurut mantan duta besar untuk Britania Raya, Irlandia dan International Maritime Organization, London itu, ada dua cara bagi Indonesia untuk bisa mempertahankan strategi otonominya.
Pertama adalah melakukan diversifikasi hubungan dengan negara-negara asing.
“Diversifikasi hubungan itu mencerminkan bahwa Indonesia nggak suka ada ketergantungan berlebihan pada satu kekuatan besar tertentu,” kata Rizal.
Kedua adalah menciptakan hubungan yang seimbang untuk menjamin strategi otonomi Indonesia di antara negara-negara adidaya.
“Apakah kita mau hedging atau mau balancing? Itu ada caranya tersendiri, mengambil balancing atau mengambil hedging dalam strategi untuk menjamin strategi otonomi,” Rizal melanjutkan.
Hedging adalah strategi yang digunakan untuk menghindari pilihan strategi yang salah atau dapat merugikan negara akibat kondisi dan keadaan di mana sebuah negara kesulitan untuk memastikan niat atau kepentingan dari negara target.
Rizal Sukma menjadi pembicara dalam diskusi “Bernavigasi di antara para raksasa: Mengungkap kompleksitas persepsi Indonesia terhadap China dan AS” yang diselenggarakan oleh Indikator Politik Indonesia pada Rabu.
Selain Rizal Sukma, diskusi itu juga menghadirkan Burhanuddin Muhtadi, pendiri Indikator Politik Indonesia, pengamat politik Rizal Mallarangeng, Staf Khusus Menteri Perdagangan Bara Krishna Hasibuan dan Asisten Profesor Departemen HI Universitas Indonesia Yeremia Lalisang.
Baca juga: Menlu Retno tegaskan politik luar negeri Indonesia tidak transaksional
Baca juga: Ketua MPR: Indonesia tidak terikat ideologi asing negara adikuasa
Baca juga: FPCI: Prabowo kenalkan strategi diplomasi lewat kunjungan Asia Timur
“Karena politik luar negeri itu harus didasarkan kepada kalkulasi objektif mengenai ‘the interest of the day’,” kata Rizal pada diskusi yang dipantau secara daring di Jakarta, Rabu.
Menurut Rizal, politik luar negeri juga tidak boleh 100 persen berdasarkan kepentingan nasional, tetapi juga mencerminkan keseimbangan antara kepentingan nasional dan kewajiban internasional.
“Karena kewajiban internasional adalah bagian dari kepentingan nasional menurut saya,” ujar Rizal.
Rizal melanjutkan, tantangan Indonesia dalam menjalankan politik luar negerinya semakin besar.
Tantangannya itu adalah, menurut Rizal, memastikan bahwa Indonesia tetap memiliki dan mempertahankan strategi otonomi di antara negara-negara adidaya.
Menurut mantan duta besar untuk Britania Raya, Irlandia dan International Maritime Organization, London itu, ada dua cara bagi Indonesia untuk bisa mempertahankan strategi otonominya.
Pertama adalah melakukan diversifikasi hubungan dengan negara-negara asing.
“Diversifikasi hubungan itu mencerminkan bahwa Indonesia nggak suka ada ketergantungan berlebihan pada satu kekuatan besar tertentu,” kata Rizal.
Kedua adalah menciptakan hubungan yang seimbang untuk menjamin strategi otonomi Indonesia di antara negara-negara adidaya.
“Apakah kita mau hedging atau mau balancing? Itu ada caranya tersendiri, mengambil balancing atau mengambil hedging dalam strategi untuk menjamin strategi otonomi,” Rizal melanjutkan.
Hedging adalah strategi yang digunakan untuk menghindari pilihan strategi yang salah atau dapat merugikan negara akibat kondisi dan keadaan di mana sebuah negara kesulitan untuk memastikan niat atau kepentingan dari negara target.
Rizal Sukma menjadi pembicara dalam diskusi “Bernavigasi di antara para raksasa: Mengungkap kompleksitas persepsi Indonesia terhadap China dan AS” yang diselenggarakan oleh Indikator Politik Indonesia pada Rabu.
Selain Rizal Sukma, diskusi itu juga menghadirkan Burhanuddin Muhtadi, pendiri Indikator Politik Indonesia, pengamat politik Rizal Mallarangeng, Staf Khusus Menteri Perdagangan Bara Krishna Hasibuan dan Asisten Profesor Departemen HI Universitas Indonesia Yeremia Lalisang.
Baca juga: Menlu Retno tegaskan politik luar negeri Indonesia tidak transaksional
Baca juga: Ketua MPR: Indonesia tidak terikat ideologi asing negara adikuasa
Baca juga: FPCI: Prabowo kenalkan strategi diplomasi lewat kunjungan Asia Timur
Pewarta: Cindy Frishanti Octavia
Editor: Primayanti
Copyright © ANTARA 2024
Tags: