Jakarta (ANTARA) - Pengamat ekonomi energi dari Universitas Padjadjaran Yayan Satyakti mengatakan pemerintahan mendatang memiliki beragam tantangan dalam mencapai kemandirian energi.

Yayan, saat dihubungi di Jakarta, Selasa (15/10), mengatakan upaya pengembangan energi terbarukan khususnya energi berbasis bahan baku nabati (bioenergi) untuk mencapai kemandirian energi sering berbenturan dengan upaya pelestarian lingkungan. Pasalnya, pengembangan energi berbasis tanaman pangan akan membutuhkan lahan yang sangat luas.

Salah satu contohnya adalah pengembangan biodiesel dan bioethanol yang berbasis tanaman sawit dan tebu. Tanpa perencanaan yang matang, kata Yayan, produksi bioenergi dapat mengakibatkan konversi lahan hutan menjadi lahan pertanian yang dapat meningkatkan emisi karbon.

Menurut Yayan, untuk memenuhi target biodiesel B50 misalnya, diperlukan perluasan lahan perkebunan sawit hingga 2,5 sampai 3 kali lipat dari kondisi saat ini. Kebijakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang mengalokasikan 1-1,2 juta hektare lahan untuk tanaman energi dinilai masih belum cukup.

“Sehingga berpotensi menimbulkan konflik antara tujuan mencapai ketahanan energi dengan perubahan iklim,” ujarnya.

Selain itu, Yayan menyoroti permasalahan harga biodiesel. Ia menyebut agar produksi biodiesel lebih berkelanjutan, diperlukan investasi yang cukup besar untuk pengelolaan kebun sawit yang baik.

Namun, biaya produksi yang tinggi ini berpotensi membebani konsumen dan membuat harga biodiesel menjadi lebih mahal dibandingkan bahan bakar fosil.

Dominasi perusahaan swasta dalam sektor perkebunan sawit juga disebutnya turut mempengaruhi harga biodiesel. Dengan 55 persen perkebunan sawit dikuasai oleh swasta, pemerintah akan sulit mengatur harga biodiesel dan membuatnya lebih terjangkau bagi masyarakat.

Yayan mengatakan pemerintah perlu menerapkan domestic market obligation (DMO) yang dapat membantu menjaga stabilitas harga biodiesel di pasar domestik dan memastikan ketersediaan bahan baku untuk industri dalam negeri.

"Harus ada semacam program yang bisa mengendalikan harga kebutuhan ini agar bisa kompetitif di pasaran," ucapnya.

Selain itu, ia menyebut pemerintah dapat mempertimbangkan untuk memiliki perkebunan sawit khusus yang didedikasikan untuk produksi biodiesel. Ini dapat memberikan pemerintah kendali yang lebih besar atas pasokan dan harga biodiesel.

Swasembada energi menjadi salah satu misi dalam program Asta Cita presiden dan wakil presiden terpilih Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.

Program kerja yang akan dilakukan, di antaranya mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil sekaligus menjadikan Indonesia sebagai raja energi hijau dunia dalam bidang energi baru dan terbarukan dan energi berbasis bahan baku nabati (bioenergi).

Kemudian, memperbaiki skema insentif untuk mendorong aktivitas temuan cadangan sumber energi baru untuk meningkatkan ketahanan dan kedaulatan energi nasional.

Selain itu, mendirikan kilang minyak bumi, pabrik etanol, serta infrastruktur terminal penerima gas dan jaringan transmisi/distribusi gas, baik oleh BUMN atau swasta.

Baca juga: Erick: Penggunaan bioetanol wujudkan swasembada energi ke depan

Baca juga: Prabowo komitmen bawa Indonesia swasembada energi terbarukan