Jakarta (ANTARA News) - Vonis hukuman pengadilan terhadap pelaku kejahatan kehutanan di Indonesia kebanyakan masih rendah, belum memenuhi rasa keadilan, dan tidak menimbulkan efek jera, kata Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan Sonny Partono di Jakarta, Jumat.

Ia menjelaskan, vonis pengadilan tertinggi dalam tindak pidana kehutanan adalah hukuman penjara selama delapan tahun terhadap DL Sitorus yang diputuskan oleh Mahkamah Agung.

Mahkamah Agung memutuskan DL Sitorus terbukti bersalah melakukan tindak pidana mengerjakan dan menggunakan kawasan hutan secara tidak sah secara bersama-sama dan dalam bentuk perbuatan berlanjut.

"Baru DL Sitorus yang diputus delapan tahun. Tapi tidak lama sudah melenggang," ujar dia.

Kepala Sub Direktorat Penyidik Wilayah I Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Suharyono menambahkan, penyitaan lahan DL Sitorus pun saat itu tidak dapat dilakukan.

"Dengan surat resmi pun kami lewati gerbang lahannya saja tidak bisa. Bayangkan kami dengan dua kompi aparat tertahan karena di gerbang saja sudah 2.000 orang pekerjanya yang menghadang," ujar dia.

Ia menjelaskan pula bahwa dalam kasus tindak pidana kehutanan yang lain di Lampung, penyelidikan dan penyidikan paling tidak dilakukan lebih dari satu tahun dan menghabiskan dana hingga Rp200 juta hingga sampai peradilan. Namun pengadilan hanya menjatuhkan vonis 1,5 bulan penjara kepada pelakunya.

Selain itu organisasi lingkungan Walhi Kalimantan Tengah mencatat tujuh kasus tindak pidana kehutanan di lima kabupaten, enam diantaranya terkait dengan perkebunan sawit dan satu merupakan kasus tambang.

Enam perkara tindak pidana kehutanan sudah diputus pengadilan dan satu lainnya masih dalam proses persidangan tahun 2014.

Dari enam kasus yang telah diputus pengadilan, dua pelakunya divonis bebas dan empat lainnya dikenai hukuman percobaan.

Lebih lanjut Sonny menjelaskan bahwa jumlah perkara pidana di sektor kehutanan yang terlapor cenderung menurun namun kasus pertambangan ilegal di kawasan hutan serta perdagangan satwa dan tumbuhan liar masih banyak.

Kementerian Kehutanan mencatat, hingga 2014 terdapat 145 kasus pembalakan liar dan 74 perkara perkebunan yang akan masuk proses persidangan.

"Wildlife crime (perdagangan satwa dan tumbuhan liar) justru semakin tinggi trennya. Data dari 2009-2014 terdapat lebih dari 220 kasus," kata Sony.