Jakarta (ANTARA) - Ketua Umum Asosasi Perajin dan Pengusaha Batik Indonesia (APPBI) Komar Kudiya membagikan strategi untuk para perajin batik di dalam negeri bisa tetap bertahan di tengah gempuran daya beli masyarakat yang turun.

Menurut dia para perajin batik juga harus menciptakan karya yang tetap bisa dijangkau dengan kondisi ekonomi masyarakat saat ini sehingga para perajin tetap bisa mendapatkan pemasukan di samping dari produk-produk yang memiliki nilai seni tinggi atau dikenal sebagai produk artisan.

"Selain tetap konsisten memproduksi batik-batik yang menengah ke atas, yang masterpiece. Kita juga harus memulai, jangan terlalu idealis dengan target yang harus dikejar. Jadi kita memproduksi juga batik-batik yang menengah ke bawah. Segmen menengah ke bawah itu harus kita isi juga," kata Komar di Jakarta, Selasa.

Menurut dia langkah ini juga penting untuk memerangi batik-batik "palsu" yang menurutnya beredar di masyarakat dan berasal dari luar negeri yang tentunya hal itu merugikan pelaku industri mikro seperti para perajin batik di daerah-daerah yang ada di Indonesia.

Baca juga: Kemenperin fasilitasi Batik Mark bagi 50 industri batik Indonesia

Baca juga: Jenama Nona Rara rangkul puluhan perajin batik


Komar mengatakan tak sedikit di pasaran khususnya di pasar niaga daring produk kain bercorak batik yang dikamuflasekan seolah merupakan batik padahal kain tersebut tidak melalui proses batik atau kain yang diolah menggunakan lilin atau malam.

Padahal batik yang sesungguhnya entah itu batik tulis atau batik cap yang ditetapkan menjadi warisan budaya tak benda UNESCO itu memang diwajibkan untuk diproses menggunakan lilin atau malam.

Jadi menurut dia agar tidak kalah dengan persaingan dari penjual batik yang nakal, maka perajin batik lokal juga harus bisa mengisi pasar segmen kelas bawah hingga menengah.

Tidak perlu motif-motif yang terlalu rumit, perajin bisa menghasilkan batik tulis atau batik cap dengan motif sederhana sehingga produknya tetap bisa menjadi produk ekonomi dan tetap menjadi pilihan masyarakat dari berbagai kalangan.

"Yang harus mengisi ya kita-kita ini (perajin lokal). Misalkan kalau kita hanya kejar yang mahal-mahal saja, kasihan nanti. Sementara kita tahu persaingan dengan yang fake-nya itu, yang palsu-palsunya ini semakin banyak sekali. Semakin tidak bisa dibendung," kata Komar.

Pria yang juga akademisi di Program Studi Kriya Tekstil Institut Teknologi Bandung (ITB) itu juga mengatakan selain dibutuhkan kemampuan adaptasi dari perajin batik, ke depannya dibutuhkan peran pemerintah untuk memberikan payung hukum yang membela para perajin batik.

Salah satu payung hukum yang perlu diciptakan ialah terkait dengan pentingnya mendaftarkan Batik Mark Indonesia yang menjadi tanda atau identitas batik khas Indonesia sebagai produk kekayaan intelektual.

Sehingga ke depannya batik yang tidak memiliki BMI dan tidak memenuhi standar tidak lagi bisa beredar sembarangan di pasar sehingga batik asli bisa merajai pasar di dalam negeri.

"Karena banyak itu yang menjual di media sosial ada embel-embel ini batik tulis, ini batik sutra, dan segala macamnya. Tapi kenyataannya bukan. Ya bagaimana yang seperti itu dibendung? Ditegurkah? atau kemudian disuratikah? Maka dari itu perlu ada payung hukumnya," kata Komar.

Baca juga: Perajin batik di Kediri ingin pemkab fasilitasi penjualan produk

Baca juga: Kemenperin dorong regenerasi perajin batik

Baca juga: Perajin batik tulis Trenggalek sasar pasar milenial