Jakarta (ANTARA) - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) memandang perlu regulasi yang mewajibkan pencantuman label kadar lemak trans (trans-fatty acid/TFA) pada produk pangan olahan sebagai bagian dari upaya untuk mengeliminasi lemak trans di Indonesia.

Pengurus Harian YLKI Sudaryatmo mengingatkan bahwa lemak trans atau asam lemak trans yang bersumber dari industrial memiliki dampak yang membahayakan bagi kesehatan, seperti meningkatkan kolesterol jahat dan menghambat pertumbuhan kolesterol baik dalam tubuh. Oleh sebab itu, regulasi yang mengatur kadar lemak trans dalam pangan olahan sangat diperlukan.

“Yang dituntut YLKI adalah bagaimana pemerintah membuat regulasi supaya kandungan lemak trans itu dimunculkan di label makanan. Jadi konsumen itu tahu kandungan lemak trans itu,” kata Sudaryatmo saat media visit di ANTARA Heritage Center (AHC), Jakarta, Selasa.

Lebih lanjut, Sudaryatmo menjelaskan bahwa sebenarnya Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mendorong negara-negara untuk mengadopsi salah satu dari dua pendekatan regulasi untuk mengeliminasi lemak trans.

Pilihan pertama, membatasi secara ketat kadar lemak trans industrial menjadi maksimal 2 persen dari total kandungan lemak di semua makanan. Pilihan kedua, melarang minyak terhidrogenasi sebagian atau partially hydrogenated oil (PHO) sebagai sumber utama lemak trans yang diproduksi secara industri.

Saat ini tercatat sebanyak 53 negara anggota WHO telah mengadopsi kebijakan untuk mengeliminasi lemak trans.

Sudaryatmo mencontohkan pengalaman Denmark sebagai negara pertama yang menerapkan kebijakan eliminasi lemak trans. Dalam 10 tahun setelah regulasi diberlakukan, angka kematian akibat penyakit jantung dan pembuluh di negara itu turun 20 persen.

Dalam kasus di Indonesia, ia mengingatkan bahwa penyakit katastropik menyedot anggaran yang sangat besar untuk BPJS Kesehatan tahun 2020, yakni mencapai Rp20 triliun dengan 49 persen di antaranya untuk penyakit jantung koroner. Ditambah lagi, kasus penyakit jantung pada kelompok muda semakin meningkat.

Oleh sebab itu, YLKI berharap pemerintah membuat terobosan baru dengan melahirkan regulasi untuk pembatasan kadar lemak trans yang tidak hanya dapat menyelamatkan kesehatan masyarakat tetapi juga mencegah Indonesia agar tidak menjadi target pasar masuknya PHO dari negara lain.

“Posisi Indonesia itu, kalau tidak bisa membuat regulasi, nanti menjadi target pemasaran partial hydrogenated di pasar global. Atau makanan-makanan yang mengandung lemak trans, itu masuk ke pasar Indonesia karena tidak ada ada regulasinya,” kata Sudaryatmo.

Ia menegaskan pentingnya asimetris informasi dan keterbukaan informasi yang bisa didapatkan konsumen saat membeli pangan olahan. Dari analisis 119 sampel produk pangan dalam kemasan yang dilakukan YLKI pada 2023, ditemukan sebanyak 60 persen di antaranya tidak mencantumkan informasi kandungan lemak trans.

Sisanya, sebanyak 40 persen mencantumkan dan mengklaim kadar lemak trans 0 persen. Akan tetapi, YLKI tetap mengingatkan pentingnya peran Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk menguji kembali apakah klaim 0 persen lemak trans memang benar atau justru sebaliknya.

Sementara itu, hasil uji laboratorium kandungan lemak pada produk pangan di Indonesia yang dilakukan WHO Indonesia dan IPB pada tahun ini menunjukkan bahwa 11 dari 130 sampel yang diuji mengandung kadar lemak trans melebihi level yang direkomendasikan WHO, yakni sebesar 2 persen dari total lemak.

“(Label kandungan nilai gizi) semakin detail semakin bagus. Ketika dia mengandung minyak nabati, pastikan apakah itu ada proses hidrogenasi atau tidak. Hidrogenasi fully atau partial. Yang berbahaya itu ketika dia melakukan hidrogenasi partial, pasti ada lemak transnya. Regulasi kita itu labelnya belum sedetail negara-negara lain yang produknya masuk di kita,” Sudaryatmo.

Baca juga: WHO: Asia tertinggal dalam upaya hilangkan lemak trans dari makanan
Baca juga: Regulasi efektif kurangi lemak trans guna sehatkan RI