Jakarta (ANTARA) - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyebutkan Indonesia terlibat dalam upaya fortifikasi pangan skala besar yang melibatkan negara-negara selatan, sebagai salah satu intervensi prioritas untuk mengatasi defisiensi vitamin dan mineral pada masyarakat.
Dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Selasa, Sekretaris Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat Kemenkes Niken Wastu Palupi menyebutkan dalam 20 tahun terakhir kesehatan masyarakat di Indonesia telah mengalami peningkatan yang signifikan, namun defisiensi zat gizi mikro masih menjadi masalah yang terus terjadi.
Saat ini, kata dia, data terkait status zat gizi mikro di Indonesia masih sangat terbatas. Adapun pada 1990-an, kata Niken, Indonesia mencatat rekor defisiensi yodium yang tinggi. Dia menyebutkan hingga saat ini kasus anemia, terutama pada ibu hamil, masih menjadi masalah yang cukup serius.
Selain itu, lanjutnya, kekurangan zat gizi mikro merupakan penyebab terbesar kedua kematian anak balita di Indonesia. Pihaknya berupaya mengatasinya melalui transformasi kesehatan di pilar layanan primer.
Baca juga: Bappenas dorong penguatan kolaborasi "large-scale food fortification"
“Keterjangkauan fasilitas, infrastruktur, pengobatan, dan peralatan medis serta meningkatkan layanan primer dan rujukan perlu dikuatkan. Deteksi dini dan menurunkan angka kematian ibu masuk dalam strategi nasional kita,” ujarnya pada Diskusi Pembelajaran dan Kolaborasi Antar Negara-negara Selatan terkait Fortifikasi Pangan Skala Besar.
Niken juga mengajak semua pihak untuk mempertimbangkan strategi selanjutnya, yakni kolaborasi antarnegara serta mengadopsi praktik terbaik dari pengalaman setiap negara.
Director of Nutrition Bill and Melinda Gates Foundation Meetu Kapur menyatakan secara global negara-negara Selatan memiliki regulasi terkait fortifikasi pangan. Namun, kata Meetu, masih banyak yang perlu dilakukan untuk meningkatkan akses terhadap pangan berkualitas.
Dia menilai keberhasilan fortifikasi pangan bergantung pada penentuan prioritas melalui implementasi kebijakan dan pendanaan atas keterlibatan pemangku kepentingan dan peningkatan kapasitas.
Baca juga: KFI sebut penting pangan terfortifikasi dalam makanan bergizi gratis
“Negara-negara di Selatan mempunyai tantangan malnutrisi yang serupa, antara lain defisiensi mikronutrien dan kelebihan mikronutrien,” katanya.
Oleh karena itu diskusi antara negara-negara Selatan penting, karena mereka dapat bertukar pengalaman uniknya serta berkolaborasi di antara regulator dan pelaksana, terutama di negara-negara berkembang.
Dia mencontohkan inovasi dan program fortifikasi nasional di Nigeria dapat dipelajari, terutama terkait kolaborasi yang bermakna antara sektor publik dan swasta. Selain itu kerja sama di Pakistan juga menjadi contoh yang patut ditiru, terutama dalam penanganan masalah kesehatan perempuan dan usia reproduksi serta program imunisasi yang efektif.Baca juga: Guru besar IPB: Fortifikasi solusi atasi masalah kekurangan zat gizi mikro
Kemenkes: RI fortifikasi pangan skala besar atasi masalah gizi mikro
15 Oktober 2024 16:00 WIB
Ilustrasi - Beras fortivit yang disiapkan oleh Bulog untuk turunkan angka stunting di NTT. ANTARA/Kornelis Kaha
Pewarta: Mecca Yumna Ning Prisie
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2024
Tags: