Sorong (ANTARA) - Lembaga Sensor Film Republik Indonesia (LSF RI) menyosialisasikan gerakkan nasional budaya sensor mandiri di Provinsi Papua Barat Daya (PBD) sebagai upaya melibatkan masyarakat untuk ikut berperan dalam menyortir konten-konten negatif secara mandiri sehingga layak di tonton publik.

Ketua Komisi II Lembaga Sensor Film RI, Ervan Ismail, di Sorong, Selasa, menjelaskan gerakkan nasional budaya sensor mandiri ini sangat penting melindungi nilai-nilai moral dan budaya bangsa dari pengaruh negatif media, kemudian pendidikan karakter dengan mengajarkan anak-anak untuk memilih konten yang baik demi membangun karakter yang kuat.

Baca juga: LSF sensor 40.000 materi iklan dan film
"Ini adalah tanggung jawab kita bersama, karena LSF cuma 17 orang sehingga partisipasi dan keterlibatan masyarakat sangat diharapkan," jelas Ervan Ismail dalam sambutan pembukaan Sosialisasi Gerakkan Nasional Budaya Sensor Mandiri di Kota Sorong.

Dia mengakui bahwa LSF memiliki keterbatasan sumber daya dan hanya bisa melakukan sensor film yang mendaftar ke LSF. Sementara karya audio visual yang tiba-tiba dimunculkan di sosial media, seperti Facebook, Youtube dan lain sebagainya tentunya tidak mendapatkan perhatian dari LSF.

"Kami mengajak supaya kita sama-sama dengan mindset kita yang baik untuk mengambil peran itu sebagai upaya meminimalisir konten yang negatif yang nantinya mempengaruhi tumbuh kembang anak," ujarnya.

Menurut dia, pembuatan film atau konten yang berkarakter budaya tentunya tidak mengandung kekerasan dan perjudian, tidak mengandung unsur provokasi yang berujung pada keributan di masyarakat.

Selain itu, juga sebuah film juga tidak mengandung zat adiktif narkotika, pelecehan terhadap kelompok masyarakat atau terhadap agama, pornografi bahkan isi film itu pun tidak boleh merendahkan harkat dan martabat masyarakat.

Baca juga: Struktur organisasi di Lembaga Sensor Film Indonesia 2024 - 2028
"Karena tayangan kekerasan dapat meningkatkan perilaku agresif pada anak, lalu tayangan menakutkan dapat menyebabkan kecemasan dan stres. tayangan positif membantu anak mengembangkan empati," kata dia.

Kerja sama ini, sebut dia, perlu dibangun untuk meminimalisir film atau konten negatif yang bisa mempengaruhi interaksi sosial dari anak.

Berdasarkan hasil survei LSF pada 2022 terhadap pelajar di Jabodetabek ditemukan fakta terdapat 54% penonton usia anak menyatakan tidak memperhatikan atau mematuhi penggolongan klasifikasi usia.

"Ini masyarakat harus paham dan tahu bahwa setiap film yang telah lulus sensor telah diberikan kategori mulai dari 13 plus, 17 plus dan seterusnya," beber dia.

Ini dimaksudkan supaya masyarakat mampu memilah dan memilih tontonan sesuai dengan penggolongan dan klasifikasi usia ini.

"Yang kami harapkan setidak-tidaknya dengan cara itu dorong anak-anak untuk tidak menonton yang bukan golongan usianya," ucap dia.


Baca juga: Alasan film Indonesia harus disensor