Jakarta (ANTARA) - Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menekankan pentingnya penanganan stunting dilakukan secara lebih konsisten dan tidak sekadar seremonial belaka.

“Pada Bulan Juni sudah dilaksanakan intervensi dan pengukuran serentak se-Indonesia, yang memprihatinkan dari 5,8 juta data Elektronik Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat (EPPGBM), yang diintervensi balitanya baru 4,41 persen atau 268 ribu balita. Ini catatan autokritik, kita berhenti di seremonial pengukuran bulan timbang,” kata Sekretaris Utama BKKBN Tavip Agus Rayanto di Kantor BKKBN, Jakarta, Selasa.

Ia memaparkan setelah penimbangan serentak di Bulan Juni, pada Bulan Juli 2024, intervensinya semakin menurun jadi 1,7 persen atau 97.858 balita, sedangkan di Bulan Agustus 2024, jumlah balita yang diintervensi semakin menurun lagi menjadi hanya 0,8 persen atau 43.585.

“Konsistensi intervensi di lapangan pada level mikro itu masih lemah dan sangat jauh dari harapan,” ujar dia.

Tavip juga mengemukakan beberapa indikator lain masih perlu menjadi perhatian, seperti balita gizi kurang mendapatkan asupan makanan, targetnya masih jauh dari harapan, sedangkan status gizi balita Indonesia, balita dengan berat badan kurang juga semakin meningkat, dan balita dengan berat badan yang melebihi normal juga naik.

Baca juga: BKKBN: Pendekatan sensitif langkah cegah kasus stunting baru

Untuk itu, ia menekankan pentingnya pemantauan tumbuh kembang balita secara intensif yang memberikan korelasi positif terhadap penurunan stunting.

“Bayi yang mendapatkan ASI eksklusif, korelasi stuntingnya juga turun, selain itu, intervensi terhadap pelayanan keluarga berencana (KB) pascapersalinan, kehamilan yang tidak diinginkan, cakupan calon pasangan usia subur, intervensi pada air minum yang tidak layak juga berhasil menurunkan angka stunting,” paparnya.

Sementara itu, Pelaksana Tugas Kepala BKKBN Sundoyo menekankan pentingnya mengubah pola atau strategi penurunan stunting sejak bayi dalam kandungan.

“Pola atau strategi penurunan stunting harus kita ubah, stunting mestinya bisa kita cegah mulai dari bayi dalam kandungan, yang harus kita berikan kualitas antenatal care (pemeriksaan ibu hamil dan janin) selama sembilan bulan,” ujar dia.

Ia menyebutkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) juga sudah menyediakan ultrasonografi atau USG di beberapa puskesmas, sehingga BKKBN dengan sumber daya tim pendamping keluarga perlu terus mengedukasi ibu hamil agar memeriksakan kandungannya.

“BKKBN punya sumber daya luar biasa, karena BKKBN punya tim pendamping keluarga, jadi perlu terus dilakukan, bagaimana ibu-ibu dirayu ke puskesmas untuk memeriksakan kehamilannya,” ucapnya.

Baca juga: BKKBN: Program makan bergizi gratis tambah gizi anak cegah stunting
Baca juga: Guru Besar IPB: Perlu kerja sama lintas sektor dalam tangani stunting