Jakarta (ANTARA) - Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mendorong penguatan kolaborasi negara-negara selatan (Global South) dalam mengimplementasikan large-scale food fortification/LSFF (intervensi khusus yang biasanya dimulai dan diatur oleh pemerintah untuk mencegah kekurangan zat gizi mikro, terutama pada populasi rentan).

“Saya mendorong kita semua untuk memperkuat dan mempertahankan kolaborasi kita dalam mengimplementasikan large-scale food fortification untuk kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat kita,” kata Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat dan Kebudayaan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Amich Alhumami dalam acara Convening on LSFF: Promoting Learnings & Collaboration Among Global South Countries di Jakarta, Senin.

Pencegahan persoalan malnutrisi disebut menjadi masalah nasional, termasuk menghadapi persoalan kelaparan tersembunyi/hidden hunger (kekurangan manusia dalam mikronutrien).

Berdasarkan riset kesehatan dasar Indonesia tahun 2023, 1 dari 4 perempuan menderita anemia yang meningkatkan resiko kelainan janin. Masalah ini berdampak pada perempuan dan anak-anak di wilayah ekonomi rendah dengan pola makan yang kurang beragam.

“Fortifikasi pangan adalah salah satu intervensi yang paling cost effective atau hemat biaya untuk mengatasi masalah mikronutrien yang digabungkan dengan intervensi lain, sepertinya misalnya melalui biofortifikasi,” ungkap dia.

Riset Bank Dunia tahun 2008 mencatatkan bahwa fortifikasi pangan terbukti sebagai salah satu intervensi yang paling efektif mengatasi malnutrisi dengan pengembalian investasi 1 banding 27 dolar Amerika Serikat/AS.

Artinya, setiap investasi 1 dolar AS pada program fortifikasi pangan menghasilkan keuntungan ekonomi 27 dolar AS ekonomi yang mendorong pencegahan penyakit, serta meningkatkan pendapatan dan produktivitas kerja.

Karena itu, LSFF dinyatakan sebagai salah satu program pemerintah untuk memastikan adanya kecukupan mikronutrien masyarakat, terutama bagi kelompok miskin dan rentan.

Komitmen pemerintah Indonesia untuk memperkuat fortifikasi dan program biofortifikasi sudah dimasukkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029 dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2025. Hal ini merupakan bentuk komitmen politik yang kuat dengan pengaturan regulasi yang mendukung, ketepatan alokasi sumber daya, serta koordinasi lintas sektor.

Deputi Amich menegaskan bahwa implementasi dari fortifikasi pangan membutuhkan keterlibatan sektor swasta dan pemangku kepentingan lainnya, serta membutuhkan koordinasi tingkat tinggi dan teknis dari berbagai sektor untuk memperkuat penerapan program tersebut di Indonesia guna meningkatkan kesehatan masyarakat.

Dia juga menekankan kolaborasi Global South dalam mendukung keberlanjutan LSFF dengan mengintegrasikan berbagai inisiatif ke dalam strategi kesehatan nasional dan memperkuat kolaborasi multi sektor. Dengan begitu, dapat dipastikan kemajuan dalam memperbaiki kesehatan publik secara jangka panjang.

“Dengan arahan dari program large scale food fortification, sangat penting kita mendukung dengan mengintegrasikan inisiatif ini ke dalam strategi nasional dan juga memastikan adanya pendanaan, dan menguatkan kolaborasi multi sektor akan memastikan implementasi efektif dengan mengkoordinasikan dari (berbagai) kementerian. Lebih jauh lagi, mengadopsi teknologi fortifikasi dengan kerangka kerja dukungan regulasi bisa memastikan efikasi dari produk tersebut, dan melibatkan para pemangku kepentingan di setiap langkah memungkinkan kita bisa melakukan monitoring dan evaluasi, supaya kita bisa melakukan peningkatan-peningkatan yang adaptif untuk memastikan kesuksesan jangka panjang,” ujarnya.

Indonesia menjadi tuan rumah pertemuan internasional yang membahas LSFF melalui kerja sama antara Bappenas dengan Global Health Strategies.

LSFF dihadiri lebih dari 80 peserta yang mencakup perwakilan pemerintah, ahli, dan akademisi Asia dan Afrika, anggota tim pakar LSFF, pakar kesehatan, lalu swasta. Selain itu hadir pula mitra pembangunan seperti UNICEF (United Nations Children's Fund), World Health Organization (WHO), dan OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development).

LSFF menjadi platform bertukar pengalaman, pembelajaran, dan kolaborasi Global South dalam pelaksanaan fortifikasi pangan skala besar. Forum ini dikhususkan untuk mengatasi kekurangan mikronutrien, seperti zat besi, kalsium, seng, yodium, folat, dan vitamin, yang menyebabkan berbagai penyakit, termasuk stunting.

Pertemuan ini menghadirkan Indonesia, Bangladesh, India, Nigeria, dan Ethiopia yang berbagi pengetahuan dan pengalaman dalam menerapkan fortifikasi pangan di negara masing-masing.

Indonesia sendiri telah mewajibkan fortifikasi pada garam, minyak goreng, dan tepung terigu, serta tengah memperluas program fortifikasi pada beras yang merupakan bahan pokok masyarakat.

Fokus LSFF juga pada identifikasi sinergi potensial antar negara dan wilayah dalam memperkuat implementasi fortifikasi pangan. Salah satu hasil dari pertemuan ini adalah peluncuran wadah pertukaran pembelajaran (knowledge exchange platform) bagi Global South sebagai pusat berbagi pengalaman dan praktik baik antar negara berkembang dalam implementasi fortifikasi pangan.

“Kami mengharapkan semua peserta (negara-negara selatan) untuk membagikan praktek-praktek terbaik dan mendorong kolaborasi yang kuat di antara negara untuk meningkatkan large scale food fortification, dan sebagai intervensi untuk mengatasi masalah kekurangan mikronutrien (zat gizi mikro),” ucap Amich.