Jakarta (ANTARA) - Kerja nyata yang dilakukan Pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam aspek penguatan partai politik sebagai salah satu pilar demokrasi adalah menaikkan dana bantuan partai.

Kenaikan dana bantuan tersebut tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2009 tentang Bantuan Keuangan Kepada Partai Politik yang ditetapkan oleh Presiden Jokowi pada 4 Januari 2018, dan diundangkan pada 5 Januari 2018 oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, saat itu, Yasonna Laoly.

Dinaikkannya dana itu dimaksudkan untuk memperkuat sistem dan kelembagaan partai yang diprioritaskan untuk melaksanakan pendidikan politik bagi anggota partai politik maupun masyarakat. Selain itu, dana bantuan dapat digunakan untuk operasional sekretariat partai politik.

Sementara itu, anggarannya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk partai politik tingkat pusat, dan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) untuk partai politik tingkat daerah.

Dalam riwayatnya, pemberian dana bantuan untuk partai politik oleh Pemerintah pernah diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik. Nilai bantuan yang diberikan adalah Rp1.000 per suara sah.

Akan tetapi, PP Nomor 5 Tahun 2009 tentang Bantuan Keuangan Kepada Partai Politik itu membuat nilai bantuan turun menjadi Rp108 per suara sah.

Oleh sebab itu, PP Nomor 1 Tahun 2018 yang kembali menaikkan nilai bantuan sebanyak Rp1.000 per suara menegaskan komitmen Pemerintahan Jokowi dalam memperkuat partai politik maupun pendidikan politik di Indonesia.

Komitmen itu juga merupakan bukti kerja nyata Pemerintahan Jokowi untuk memfasilitasi masyarakat mendapatkan pendidikan politik di luar pendidikan formal.

Secara rinci, PP Nomor 1 Tahun 2018 mengatur bantuan keuangan kepada partai politik di tingkat pusat yang mendapatkan kursi di DPR sebesar Rp1.000 per suara sah. Kemudian, bantuan sebesar Rp1.200 per suara sah untuk partai politik tingkat provinsi yang mendapatkan kursi DPRD Provinsi, dan Rp1.500 per suara sah untuk yang meraih kursi di DPRD Kabupaten/Kota.


Tidak instan

Bila ditelisik, kerja nyata Presiden Jokowi untuk memperkuat salah satu pilar demokrasi, yakni partai politik, itu sudah digaungkan pada tahun pertamanya menjabat.

Ketua DPR RI Setya Novanto pada 10 Maret 2015 menyatakan pihaknya dan pemerintah telah mengadakan pembicaraan mengenai bantuan dana partai politik. Kenaikan bantuan dianggap penting agar partai politik tidak mencari alternatif pembiayaan dengan korupsi.

Kemudian, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo pada 24 Juni 2015 menyatakan Presiden Jokowi telah menyetujui kenaikan bantuan untuk partai politik, tetapi masih perlu dibahas dengan sejumlah kementerian. Hal ini mempertimbangkan anggaran negara yang masih berfokus kepada infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan.

Sehingga, kenaikan bantuan untuk partai politik belum dapat dilaksanakan pada 2015, dan direncanakan diterapkan pada 2016.

Namun, pada 2016 bantuan tersebut belum dapat diwujudkan. Mendagri Tjahjo Kumolo pada 28 Agustus 2017 menjelaskan bahwa anggaran negara belum memungkinkan mengalokasikan kenaikan bantuan untuk partai politik.

Akan tetapi, hadirnya Sri Mulyani dalam Pemerintahan Jokowi sebagai Menteri Keuangan sejak 27 Juli 2016, dan perekonomian Tanah Air yang dinilai stabil, membuka kesempatan kenaikan anggaran untuk partai politik.

Menteri Keuangan Sri Mulyani pada 27 Agustus 2017 juga telah menetapkan usulan besaran bantuan kepada partai politik yang dapat dipertimbangkan setiap tahunnya melalui Surat Menteri Keuangan Nomor 277/MK.02/2017 tanggal 29 Maret 2017.

Hingga akhirnya PP Nomor 1 Tahun 2018 ditetapkan oleh Jokowi pada saat pemerintahannya memasuki tahun keempat.

Presiden Jokowi pada saat menghadiri peringatan Hari Lahir Ke-45 Partai Persatuan Pembangunan di Kota Semarang, Jawa Tengah, 14 April 2018, mengatakan kehadiran partai politik sangat penting.
Ia menekankan partai politik tidak hanya untuk rekrutmen politik atau menyongsong pemilihan anggota legislatif maupun eksekutif, tetapi juga mencakup komunikasi politik maupun menyosialisasikan nilai-nilai politik yang penuh dengan etika kepada masyarakat.

Adapun pada PP Nomor 1 Tahun 2018 turut menjelaskan paling sedikit 60 persen bantuan keuangan yang diberikan kepada partai politik digunakan untuk menunjang kegiatan pendidikan politik.

Kegiatan politik yang dimaksud bertujuan untuk meningkatkan kesadaran hak dan kewajiban masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; meningkatkan partisipasi politik dan inisiatif masyarakat; serta meningkatkan kemandirian, kedewasaan, dan membangun karakter bangsa dalam memelihara persatuan dan kesatuan bangsa.

Kegiatan pendidikan politik dapat berupa pendalaman mengenai empat pilar berbangsa dan bernegara, yaitu Pancasila, Undang-Undang Dasar NRI 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI; pemahaman mengenai hak dan kewajiban warga negara dalam membangun etika dan budaya politik; serta pengaderan anggota partai politik secara berjenjang dan berkelanjutan.

Kegiatan pendidikan politik tetap harus memperhatikan keadilan maupun kesetaraan gender untuk membangun etika dan budaya politik yang sesuai dengan Pancasila.

Oleh sebab itu, langkah Jokowi selama menjadi Presiden untuk menaikkan dana bantuan partai politik dinilai sebagai langkah yang tepat agar kebutuhan pendidikan politik warga negara dapat terus berlangsung.

Pendidikan politik penting agar warga negara selalu berpartisipasi untuk pembangunan dengan tujuan Indonesia maju, atau mewujudkan salah satu cita-cita bersama saat ini, yakni Indonesia Emas 2045.


Kaderisasi

Meskipun bantuan dana kepada partai politik ditingkatkan, pada masa 10 tahun Pemerintahan Jokowi terdapat permasalahan mandeknya kaderisasi.
Partai-partai politik di Indonesia dinilai mengalami kemandekan proses kaderisasi yang ditandai dengan tidak adanya figur-figur baru yang menjabat ketua umum partai politik.

Mulai dari partai yang sempat menaungi Jokowi, PDI Perjuangan. Selama 2014-2024, jabatan ketua umum masih diemban oleh mantan Presiden RI Megawati Soekarnoputri.

Hal yang sama dialami Partai Gerindra dengan Prabowo Subianto, Partai NasDem dan Surya Paloh, Muhaimin Iskandar atau Cak Imin di Partai Kebangkitan Bangsa, hingga Zulkifli Hasan di Partai Amanat Nasional. Saat ini, partai-partai tersebut merupakan lima dari delapan partai yang lolos ke Senayan atau DPR RI.

Tiga partai lainnya, yakni Partai Demokrat diketuai oleh Agus Harimurti Yudhoyono yang merupakan putra dari mantan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono.

Berikutnya, Partai Golkar. Secara kasat mata, kaderisasi pimpinan partai dapat dinilai berjalan dengan baik. Walaupun demikian, sempat ada dualisme kepemimpinan pada 2014 hingga 2016 antara kubu Aburizal Bakrie dengan Agung Laksono.

Terakhir, Partai Keadilan Sejahtera, dinilai menjalankan kaderisasi dengan baik, yakni Anis Matta yang digantikan Muhammad Sohibul Iman. Kemudian, Ahmad Syaikhu meneruskan kepemimpinan sebagai Presiden PKS.

Pentingnya kaderisasi partai politik ini tidak hanya tercermin dalam pergantian jabatan ketua umum saja, tetapi juga pada pemilihan kepala daerah.

Pada 2015, ada tiga calon tunggal dari total 271 daerah. Kemudian, Pilkada 2017 bertambah menjadi sembilan calon tunggal di 101 daerah, 16 calon tunggal dari 171 daerah di Pilkada 2018, serta 25 calon tunggal dari 270 daerah pada Pilkada 2020.

Pada Pilkada 2024 juga terdapat 41 calon tunggal dari 545 daerah, tetapi berpotensi berkurang menjadi 35 calon tunggal.

Data tersebut menunjukkan kaderisasi partai politik di beberapa daerah masih perlu ditingkatkan agar angka calon tunggal bisa ditiadakan.

Selain kaderisasi, Pemerintahan Jokowi selama 10 tahun menunjukkan kurang berperannya oposisi. Pada masa 2014-2019, hanya tersisa Gerindra, Demokrat, dan PKS, sedangkan PAN dan Golkar memutuskan bergabung ke pemerintahan.

Untuk masa 2019-2024, hanya ada PKS saja setelah Demokrat memutuskan bergabung ke pemerintahan pada tahun ini.

Minimnya oposisi dinilai membuat tidak adanya check and balances terhadap pemerintahan yang berjalan.

Pemerintahan Jokowi selama 10 tahun terakhir ini dinilai membawa dampak positif untuk pendidikan politik di Indonesia, tetapi masih ada sejumlah hal yang perlu diperbaiki, seperti kaderisasi.

Artikel ini merupakan bagian dari Antara Interaktif Vol. 86 Orkestrasi Jokowi. Selengkapnya bisa dibaca Di sini