Beijing (ANTARA) - Presiden Vietnam To Lam dalam pembicaraan bilateral dengan Perdana Menteri China Li Qiang di Hanoi, Minggu (13/10), menyerukan untuk menjaga perdamaian di Laut China Selatan.

PM Li melakukan kunjungan resmi tiga hari ke Vietnam untuk membahas pengembangan hubungan kedua negara secara lebih mendalam, substantif, dan komprehensif, sesuai aspirasi serta kepentingan bersama rakyat kedua negara, demi perdamaian, kerja sama, dan pembangunan di kawasan serta di kancah internasional.

Selama pertemuan tersebut, Lam mengatakan bahwa penting bagi para pihak untuk menjaga situasi tetap terkendali dan menemukan metode serta solusi yang efektif untuk menyelesaikan perselisihan melalui kontak tingkat tinggi dan secara langsung antara otoritas terkait, lapor Kantor Berita Vietnam, VNA.

Lam menekankan bahwa kedua negara tetangga harus memajukan kerja sama mereka sesuai dengan tingkat hubungan bilateral dan hukum internasional mereka, khususnya Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS).

Dia menggarisbawahi pentingnya menjaga stabilitas dan perdamaian di Laut China Selatan.

Pekan lalu, Vietnam menyampaikan ketidaknyamanan negara tersebut terhadap penggunaan kekuatan oleh Penjaga Pantai China yang menghalangi nelayan Vietnam di Laut Cina Selatan.

Laut China Selatan tidak disebutkan dalam pernyataan China

Dalam pernyataan yang disampaikan oleh China terkait pertemuan kedua negara itu, China menyampaikan fokus utama pertemuan adalah soal hubungan bilateral, tanpa menyebutkan sengketa di Laut Cina Selatan.

Li menyatakan bahwa China siap bekerja sama untuk memperdalam komunikasi strategis, koordinasi dan solidaritas, serta membangun "komunitas dengan masa depan bersama" dengan Vietnam dengan memajukan persahabatan tradisional," menurut laporan kantor berita China, Xinhua yang berbasis di Beijing.

Selama pertemuan Li dengan Perdana Menteri Vietnam, Pham Minh Chinh, kedua pihak sepakat untuk tetap berkomitmen pada konsultasi yang bersahabat dalam mengelola perbedaan secara tepat dan mengembangkan kerja sama di wilayah maritim.

Sengketa Laut China Selatan

Laut China Selatan telah menjadi pusat sengketa kedaulatan antara negara-negara di kawasan tersebut sejak berakhirnya Perang Dunia ke-2, ketika negara-negara pesisir mulai memperoleh kemerdekaan.

China mengeklaim kedaulatan atas 80 persen Laut China Selatan untuk pertama kalinya dalam peta yang diterbitkan pada 1947.

Selain Beijing, Vietnam, Filipina, Brunei dan Malaysia juga mengeklaim hak atas wilayah, yang kaya akan sumber daya bawah laut tersebut.

Selain negara-negara di kawasan itu, Amerika Serikat (AS) juga menentang pembangunan pangkalan militer dan kehadiran armada sipil China di pulau-pulau yang disengketakan di wilayah tersebut.

Pada tahun 2016, dalam putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag setelah pengajuan oleh Filipina, klaim kedaulatan sepihak Beijing di Laut Cina Selatan dinyatakan tidak sah secara hukum.

Sumber: Anadolu

Baca juga: Vietnam siap tangani sengketa maritim dengan China
Baca juga: China jawab pernyataan Menlu AS Antony Blinken soal Laut China Selatan
Baca juga: China siap berdialog dengan ASEAN soal Laut China Selatan
Baca juga: Filipina: Banyak intimidasi tak sesuai UNCLOS di Laut China Selatan
Baca juga: Indonesia dorong ekonomi biru di Laut China Selatan untuk cegah perang