Jakarta (ANTARA) - Perairan biru menyambut ketika penumpang tiba di dermaga. Terlihat beberapa ikan mungil di dasarnya berenang selayaknya menyambut turun para penumpang yang menapakkan kakinya di Pulau Pramuka, ibu kota Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta.

Kontras dengan hiruk piruk daratan Jakarta, kehidupan di Pulau Pramuka tampak berjalan lebih lambat di awal pekan ketika turis belum berdatangan. Hanya beberapa warga yang tampak beraktivitas mengendarai sepeda listrik atau duduk bersantai di Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) Tanjung Elang Jaya yang teduh.

Namun, dipisahkan oleh lautan bukan berarti Pulau Pramuka tidak menghadapi beberapa isu lingkungan kerap dihadapi Jakarta, yang berjarak sekitar 47 kilometer darinya. Ancaman dari triple planetary crisis atau tiga krisis planet lebih terasa di wilayah kepulauan tersebut.

Baik krisis perubahan iklim, kehilangan keanekaragaman hayati, maupun pencemaran lingkungan menjadi isu yang dihadapi pulau yang memiliki penduduk tetap sekitar 2.000 jiwa itu.

Mahariah, tokoh masyarakat di Pulau Pramuka sekaligus penerima anugerah lingkungan Kalpataru pada 2017, sadar betul kerentanan pulau yang menjadi rumahnya itu. Meski sejak awal menyadari pentingnya pengelolaan lingkungan, fokus pada sampah datang seiring dengan peristiwa banjir besar Jakarta pada 2007, yang di beberapa titik mencapai ketinggian 5 meter.

Meski berada jauh dari pusat banjir, Pulau Pramuka juga terdampak banjir yang menelan korban 80 jiwa itu dalam bentuk kedatangan lebih dari 30 ton sampah tersangkut di pesisirnya, mayoritas adalah sampah yang berasal dari daratan.

Menghadapi kenyataan tersebut, masyarakat Pulau Pramuka yang kala itu sudah menginisiasi ekowisata sebagai upaya menggerakkan ekonomi sambil tetap menjaga lingkungan, kini juga mulai menaruh perhatian penuh kepada sampah.

Inisiatif Rumah Hijau yang didirikan Mahariah bersama ibu-ibu di Pulau Pramuka kemudian menjadi penggerak, yang tidak hanya dalam bentuk melakukan kegiatan penanaman mangrove di pesisir dan membersihkan pantai dari sampah, tapi juga mulai memilah dan mengumpulkan sampah organik dan anorganik untuk diolah.

"Dari situ kami mengangkat isu-isu ini jadi sentral, makanya tagline akhirnya Pulauku Nol Sampah. Jadi sentral supaya kita bisa menyelesaikan sampahnya, bisa membersihkan lautnya dan memungkinkan laut menjadi lebih sehat, satwa bisa datang lagi istilahnya," kata Mahariah.

Gerakan yang akhirnya berkembang menjadi Yayasan Rumah Literasi Hijau itu dimulai dengan menyadarkan pentingnya pengelolaan sampah baik oleh masyarakat di pulau maupun wisatawan yang memadati kawasan itu di akhir pekan.

Dimulai sejak tahun 2009 dengan rumah daur ulang, Pulau Pramuka akhirnya memiliki bank sampah pada 2017 dan mendirikan lab (laboratorium) plastik pada 2019. Fasilitas lab plastik sendiri didirikan tidak hanya untuk mendukung pengelolaan sampah plastik tapi juga memberikan pendidikan pemanfaatan plastik yang menyasar pelajar maupun wisatawan yang ingin mengetahui lebih lanjut terkait upaya masyarakat untuk menekan timbulan sampah.

Dalam perkembangannya, kolaborasi antargenerasi juga terwujud dalam pengelolaan sampah di Pulau Pramuka, dengan fasilitas rumah daur ulang dikelola oleh para ibu, sementara lab plastik Rumah Literasi Hijau dikelola oleh generasi muda.

Ketua Rumah Literasi Hijau itu secara khusus menyoroti keterlibatan para pemuda Pulau Pramuka, yang beberapa di antara mereka dulu menjadi generasi pertama ikut memungut sampah di pantai bersama-sama ibu-ibu beberapa belas tahun lalu. Kini mereka menjadi mentor untuk menggaungkan pengelolaan dan pemanfaatan sampah, salah satunya dengan menggunakan teknologi pirolisis yang mengubah sampah plastik menjadi bahan bakar alternatif.

Program bank sampah juga terus berjalan dengan nasabah di Pulau Pramuka sudah mencapai sekitar 200 warga. Dalam menjalankan bank sampah terdapat juga program barter yang Mahariah sebut sebagai program 3 banding 1, di mana masyarakat menyetor 3 kilogram sampah akan mendapat 1 liter BBM hasil pirolisis atau olahan jelantah dalam bentuk detergen dan sabun cuci piring.

Program itu bertujuan untuk menyadarkan masyarakat bahwa sampah bukanlah benda tidak berguna dan dapat dibuang ke lingkungan. Jika dikelola dengan baik maka sampah akan menjadi sumber daya.

Dikombinasikan dengan tren wisata yang mendukung perekonomian Pulau Pramuka, kini wisatawan dari luar pulau dapat berkunjung ke lab plastik atau terlibat dalam tradisi membersihkan sampah di ekosistem mangrove.

Dampaknya terasa nyata, dulu kapal pengangkut sampah rutin menyambangi Pulau Pramuka setiap satu kali dalam sepekan. Kini, kapal itu hanya datang satu atau dua kali dalam sebulan dan kebanyakan yang diangkut sudah dalam bentuk residu.

Kerja keras tidak mengkhianati hasil. Masyarakat Pulau Pramuka mendapatkan penghargaan Program Kampung Iklim (Proklim) Kategori Utama dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2018.

Mahariah, yang berprofesi sebagai guru, dan para penggerak lainnya tidak berhenti hanya di Pulau Pramuka. Berbekal dukungan beragam pihak termasuk dari pemerintah, mereka mencoba mereplikasi di pulau-pulau lain di Kepulauan Seribu yang memiliki permukiman masyarakat.

Diharapkan dengan gerakan yang dimulai dari masyarakat tersebut dapat menciptakan lingkungan Kepulauan Seribu yang lestari, menjaga alam yang memiliki kaitan erat dengan kehidupan mereka yang berdiam di pulau-pulau.

Pengunjung berjalan menyusuri ekosistem mangrove di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Jakarta, Senin (30/9/2024). ANTARA/Prisca Triferna

Pengelolaan sampah

Isu persoalan sampah di laut telah menjadi perhatian Pemerintah Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, dengan beragam langkah untuk menekan kebocoran sampah plastik ke lingkungan terus dilakukan.

Menurut data olahan Tim Koordinasi Nasional Penanganan Sampah Laut (TKNPSL), memperlihatkan jumlah kebocoran sampah plastik mencapai 359.061 ton pada 2023. Jumlah itu memperlihatkan penurunan dari 615.675 ton sampah plastik bocor ke laut pada 2018.

Peneliti Pusat Riset Oseanografi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Muhammad Reza Cordova memperingatkan dampak kebocoran plastik ke lingkungan, selain sulit untuk terdegradasi secara alami terdapat juga ancaman mikroplastik yang terlepas darinya.

Berdasarkan penelitian yang dilakukannya, mikroplastik kini telah terdeteksi pada semua sampel air dan sedimen. Partikel plastik berukuran kurang dari 5 milimeter itu juga sudah ditemukan di berbagai jenis ikan dan kerang yang dikonsumsi oleh manusia.

Mikroplastik yang masuk ke tubuh manusia dapat berdampak kepada kesehatan, dengan endapannya tidak dapat dicerna dan diserap oleh tubuh manusia. Efek pengendapan dalam jumlah banyak dan dalam periode yang lama akan memicu timbulan tumor atau bahkan kanker, disebabkan iritasi dalam tubuh karena keberadaan endapan partikel asing tersebut.

Upaya-upaya untuk memastikan pengelolaan sampah yang lebih baik juga terus dilakukan, termasuk oleh Ditjen Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun dan Berbahaya (PSLB3) KLHK.

Pengendali Dampak Lingkungan Ahli Madya Ditjen PSLB3 KLHK Edward Nixon Pakpahan menyebut pemerintah sudah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional (Jakstranas) Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga, yang di dalamnya menargetkan pengurangan sampah 30 persen dan penanganan sampah 70 persen tercapai pada 2025.

Tidak hanya itu, dengan sampah dan limbah menjadi salah satu sektor yang ditargetkan mengalami pengurangan emisi, KLHK juga menggencarkan pengurangan timbulan dan pengelolaan sampah untuk mencapai kondisi nol sampah nol emisi atau zero waste zero emission pada 2050.

Dalam mencapai tujuan tersebut, pemerintah menargetkan tidak ada lagi pembangunan tempat pembuangan akhir (TPA) pada 2030 sebagai upaya menekan emisi gas rumah kaca (GRK) metana yang dihasilkan dari sampah yang menumpuk tanpa pengolahan.

Mengingat sampah plastik menjadi penyumbang terbesar kedua komposisi sampah nasional sebesar 19,45 persen dari total timbulan 38,2 juta ton menurut data KLHK pada 2023. Dengan sampah sisa makanan menjadi mayoritas 40,94 persen, maka kini tengah didorong pengelolaannya dengan berbagi cara. Termasuk menggunakan teknologi refuse derived fuel (RDF) sebagai sumber energi, menjadi BBM alternatif dan sebagai bahan baku industri daur ulang.

Semua itu adalah bagian dari penerapan ekonomi sirkular yang terus didorong untuk diaplikasikan ke berbagai daerah Indonesia, termasuk di wilayah kepulauan. KLHK sendiri sudah memetakan potensi off-taker untuk penggunaan RDF dan industri daur ulang.

Dalam studi hasil kerja sama KLHK dengan beberapa pihak pada tahun ini menemukan potensi penyuplai bahan baku RDF dari 180 TPA, yang dibagi dalam 50 kluster dan 75 potensi off-taker di 16 provinsi. Selain juga mendukung bank sampah di berbagai wilayah Indonesia yang terdaftar mencapai 17 ribu di sistem KLHK, dengan yang aktif beroperasi sebesar 20-30 persen.

Keberadaan dana lingkungan yang dapat diakses melalui Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH), dengan proyeksi nilai bantuan 2.000 dolar AS (sekitar Rp31 juta) sampai 50 ribu dolar AS (Rp778 juta), diharapkan dapat mendukung salah satunya pengelolaan sampah yang dilakukan di akar rumput oleh masyarakat.

Dukungan itu diberikan karena pengelolaan sampah untuk memastikan tidak ada yang bocor ke lingkungan membutuhkan kerja sama dan kolaborasi dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat dan sektor swasta.

Dengan kerja sama tersebut, maka pengelolaan sampah di Indonesia yang lebih mumpuni dapat terwujud dan mendukung penciptaan lingkungan yang baik dan sehat untuk kepentingan bersama, baik manusia maupun ekosistem.

Editor: Achmad Zaenal M