"Saat ini bila dicermati angka remaja yang melahirkan agak tinggi, dan saat dilihat di kabupaten yang angkanya tinggi, ternyata kasus stuntingnya tinggi juga karena ini saling berkaitan. Oleh karena itu perlu perhatian lebih agar para remaja tidak menikah dini," ujar Sudibyo Alimoeso di Bandarlampung, Sabtu.
Ia mengatakan pernikahan dini tersebut akan menghasilkan beberapa dampak negatif, seperti belum siapnya secara mental para remaja untuk membina rumah tangga. Hingga adanya risiko besar anak yang lahir akan mengalami stunting.
"Hamil pada usia di bawah 20 tahun atau tidak sesuai dengan aturan pemerintah, sangat berisiko untuk stunting. Sebab banyak hal yang bisa mencetus terjadinya stunting saat ibu mengandung di usia yang belum siap secara mental ataupun fisik," katanya.
Menurut dia, perlu adanya edukasi kepada remaja secara luas, konsisten, dan intensif agar tidak melakukan pernikahan dini. Serta dapat meraih cita-cita dengan menempuh pendidikan hingga perguruan tinggi.
"Edukasi sangat penting, selain kepatuhan terhadap peraturan perundangan kalau menikah itu sebaiknya di atas 21 tahun. Kami berharap juga supaya dispensasi terhadap pernikahan dini bisa berkurang," ucap dia.
Baca juga: IPADI: Perbaikan sanitasi harus sasar keluarga berisiko stunting
Dia melanjutkan sosialisasi serta edukasi pencegahan pernikahan dini serta menjaga pola hidup sehat bagi para remaja, dapat dilakukan dengan kerjasama berbagai pihak salah satunya dari satuan pendidikan hingga komunitas.
Baca juga: BKKBN: Pendekatan sensitif langkah cegah kasus stunting baru