Dokter mata di Bali kenalkan teknologi baru atasi kelainan refraksi
12 Oktober 2024 15:41 WIB
Direktur Klinik Utama Mata JEC Denpasar sekaligus dokter spesialis mata Dr Cokorda Istri Dewiyani Pemayun (kiri) bersama dokter spesialis mata Dr Ni Luh Diah Pantjawati diwawancarai awak media terkait teknologi baru mengatasi kelainan mata di Denpasar, Bali, Sabtu (12/10/2024) ANTARA/Dewa Ketut Sudiarta Wiguna
Denpasar (ANTARA) - Dokter spesialis mata di Denpasar, Bali, Dr Cokorda Istri Dewiyani Pemayun mengenalkan teknologi baru untuk mengatasi kelainan refraksi yakni mata minus dan silinder tanpa perlu menggunakan kacamata atau lensa kontak.
“Kelainan mata itu bisa ditangani dalam satu langkah prosedur laser yang bekerja dalam hitungan detik dengan total operasi lima hingga 10 menit untuk satu mata,” katanya di Denpasar, Bali, Sabtu.
Ia menjelaskan teknologi itu disebut ekstraksi lentikul dengan sayatan kecil (SMILE) sekitar 2-4 milimeter menggunakan sinar laser dengan proses pemulihan tergolong cepat dan tanpa nyeri.
Menurut dia, pembedahan minimal itu merupakan generasi berikutnya untuk memperbaiki kekurangan dari lasik, yakni perlu dua langkah prosedur dalam mengatasi kelainan refraksi itu.
Ketua Persatuan Dokter Mata Indonesia (Perdami) Provinsi Bali itu menambahkan teknologi yang dihadirkan di klinik mata utama JEC Denpasar tersebut diharapkan menjawab tantangan masyarakat saat ini terkait refraksi mata.
Ada pun refraksi mata, kata dia, seperti rabun atau menyebabkan mata tidak bisa fokus kepada obyek.
Misalnya pada mata minus karena sumbu bola mata panjang, sinar yang masuk ke mata, jatuh di depan retina.
Sedangkan pada mata plus, sinar yang masuk ke mata, jatuh di belakang retina dan mata silinder, sinar masuk ke mata kemudian menyebar sehingga obyek terlihat buram atau tidak fokus.
“Badan Kesehatan Dunia atau WHO mengumumkan sekitar 50 persen individu diperkirakan mengalami mata minus atau silinder karena aktivitas banyak menggunakan gawai (gadget),” imbuh konsultan mata dan Direktur Klinik Mata JEC Denpasar itu.
Meski begitu, untuk teknologi itu pasien harus berusia di atas 18 tahun, tidak sedang hamil atau menyusui, tidak memiliki riwayat penyakit lain hingga ukuran minus 0,5 hingga 10 dan silinder hingga minus lima.
Baca juga: Semua orang bisa jadi donor kornea asal tidak ada riwayat infeksi
Baca juga: Orang tua perlu mengenali kelainan pada mata anak sedini mungkin
Senada dengan Dewiyani Pemayun, Dokter spesialis mata (konsultan) Dr Ni Luh Diah Pantjawati menambahkan pasien mata minus atau silinder juga banyak dialami anak-anak.
Untuk itu, ia mengimbau orangtua untuk mengurangi penggunaan gawai kepada anak-anak.
Orangtua, lanjut dia, perlu mengajak anak-anak beraktivitas luar ruangan di antaranya mengenal lingkungan sekitar misalnya sawah, pantai atau pemandangan hijau.
Ada pun jarak pandang aman dari gawai atau televisi, imbuh dia, sekitar 30 centimeter dari mata dengan durasi menyesuaikan usia, yakni maksimal satu hingga dua jam setelah itu mata harus istirahat.
Begitu juga membaca, dapat menerapkan teknik 20:20 yakni 20 menit membawa, istirahat 20 detik untuk melihat sejauh 20 kaki atau sekitar enam meter.
“Gaya hidup itu mempengaruhi. Untuk itu minimalkan penggunaan gawai dan lebih banyak aktivitas luar ruangan dengan melihat pemandangan hijau ini untuk perkembangan motorik otot mata agar terjaga,” katanya.
Baca juga: Dokter sarankan skrining ROP untuk deteksi kelainan mata bayi prematur
Baca juga: Dokter: Gula darah tidak terkontrol dapat sebabkan kelainan retina
Baca juga: Prosedur lasik hanya untuk usia di atas 18 tahun
“Kelainan mata itu bisa ditangani dalam satu langkah prosedur laser yang bekerja dalam hitungan detik dengan total operasi lima hingga 10 menit untuk satu mata,” katanya di Denpasar, Bali, Sabtu.
Ia menjelaskan teknologi itu disebut ekstraksi lentikul dengan sayatan kecil (SMILE) sekitar 2-4 milimeter menggunakan sinar laser dengan proses pemulihan tergolong cepat dan tanpa nyeri.
Menurut dia, pembedahan minimal itu merupakan generasi berikutnya untuk memperbaiki kekurangan dari lasik, yakni perlu dua langkah prosedur dalam mengatasi kelainan refraksi itu.
Ketua Persatuan Dokter Mata Indonesia (Perdami) Provinsi Bali itu menambahkan teknologi yang dihadirkan di klinik mata utama JEC Denpasar tersebut diharapkan menjawab tantangan masyarakat saat ini terkait refraksi mata.
Ada pun refraksi mata, kata dia, seperti rabun atau menyebabkan mata tidak bisa fokus kepada obyek.
Misalnya pada mata minus karena sumbu bola mata panjang, sinar yang masuk ke mata, jatuh di depan retina.
Sedangkan pada mata plus, sinar yang masuk ke mata, jatuh di belakang retina dan mata silinder, sinar masuk ke mata kemudian menyebar sehingga obyek terlihat buram atau tidak fokus.
“Badan Kesehatan Dunia atau WHO mengumumkan sekitar 50 persen individu diperkirakan mengalami mata minus atau silinder karena aktivitas banyak menggunakan gawai (gadget),” imbuh konsultan mata dan Direktur Klinik Mata JEC Denpasar itu.
Meski begitu, untuk teknologi itu pasien harus berusia di atas 18 tahun, tidak sedang hamil atau menyusui, tidak memiliki riwayat penyakit lain hingga ukuran minus 0,5 hingga 10 dan silinder hingga minus lima.
Baca juga: Semua orang bisa jadi donor kornea asal tidak ada riwayat infeksi
Baca juga: Orang tua perlu mengenali kelainan pada mata anak sedini mungkin
Senada dengan Dewiyani Pemayun, Dokter spesialis mata (konsultan) Dr Ni Luh Diah Pantjawati menambahkan pasien mata minus atau silinder juga banyak dialami anak-anak.
Untuk itu, ia mengimbau orangtua untuk mengurangi penggunaan gawai kepada anak-anak.
Orangtua, lanjut dia, perlu mengajak anak-anak beraktivitas luar ruangan di antaranya mengenal lingkungan sekitar misalnya sawah, pantai atau pemandangan hijau.
Ada pun jarak pandang aman dari gawai atau televisi, imbuh dia, sekitar 30 centimeter dari mata dengan durasi menyesuaikan usia, yakni maksimal satu hingga dua jam setelah itu mata harus istirahat.
Begitu juga membaca, dapat menerapkan teknik 20:20 yakni 20 menit membawa, istirahat 20 detik untuk melihat sejauh 20 kaki atau sekitar enam meter.
“Gaya hidup itu mempengaruhi. Untuk itu minimalkan penggunaan gawai dan lebih banyak aktivitas luar ruangan dengan melihat pemandangan hijau ini untuk perkembangan motorik otot mata agar terjaga,” katanya.
Baca juga: Dokter sarankan skrining ROP untuk deteksi kelainan mata bayi prematur
Baca juga: Dokter: Gula darah tidak terkontrol dapat sebabkan kelainan retina
Baca juga: Prosedur lasik hanya untuk usia di atas 18 tahun
Pewarta: Dewa Ketut Sudiarta Wiguna
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2024
Tags: