Painan (ANTARA) -
Nagari Lagan Mudik Punggasan, Kecamatan Sari Linggo Baganti, menjadi salah satu daerah sentra pala pala (Myristica fragrans) di Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat.

Data Badan Pusat Statistik Sumatera Barat menunjukkan luas kebun pala di kecamatan itu sekitar 202 hektare berdasarkan survei tahun 2020. Luas kebun pala di daerah itu meningkat dari tahun-tahun sebelumnya, meskipun tidak terlalu banyak.

Komoditas itu menjadi produk ekspor dari Sumatera Barat, namun untuk tingkat petani, pengetahuan mereka hanya sampai pada menjual ke pengepul. Harganya saat ini sekitar Rp50 ribu per kilogram untuk pala kering.

Sirup pala baru dikenal segelintir masyarakat Pesisir Selatan pada 2016 yang dikembangkan oleh salah satu kelompok tani wanita, namun untuk Nagari Lagan Mudik Punggasan sirup pala baru dikenal pada 2023.

Produksi sirup itu merupakan hasil dari uapaya Dinas Kehutanan Sumatera Barat melalui Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Pesisir Selatan yang memberikan bimbingan teknis hasil hutan bukan kayu (HBK) dengan mendatangkan ahli dari Universitas Andalas (Unand) untuk memberikan pelatihan pada sekelompok ibu-ibu di nagari itu, sehingga bisa memproduksi sirup pala.

Penyuluh Kehutanan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Pesisir Selatan Sri Rinda Agriati menceritakan dari pelatihan dan bimbingan teknis itu, kini memunculkan usaha baru kaum ibu, sehingga bisa membantu meningkatkan perekonomian keluarga.

Ahli dari Universitas Andalas (Unand) Padang Prof Tuti Anggraini didatangkan untuk berbagi ilmu dan menjadi mentor bagi para ibu, hingga akhirnya mereka bisa membuat sirup pala secara mandiri.

Usaha kaum perempuan itu bertambah maju setelah hak pengelolaan hutan nagari (HPHN) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) untuk Nagari Lagan Mudik Punggasan keluar pada 8 Juli 2022 dengan SK.5982/MENLHK-PKSL/PKPS/PSL.0/7/2022 dengan luas 682 hektare, sehingga masyarakat bisa mengambil manfaat dari kebun pala yang selama ini tidak bisa dikelola karena berada di dalam kawasan hutan lindung.

Potensi pala bukan hanya biji yang sudah dikeringkan, namun juga daging buah yang selama ini dibuang. Daging buah yang tidak memiliki nilai ekonomis itulah yang menjadi bahan dasar pembuat sirup pala.

Dengan mengolah daging kulit buah jadi sirup, masyarakat bisa mendapatkan hasil ganda. Satu dari biji yang sudah dikeringkan, satu lagi dari daging buah.

Sekretaris Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) Lagan Saiyo, Tati Elfina, mengaku tidak pernah menyangka daging kulit buah pala bisa dijadikan sirup. Biasanya, daging kulit buah itu hanya dibuang menjadi sampah.

Bahkan, sampai saat ini, setelah KUPS Lagan Saiyo telah berhasil membuat sirup pala dan menjualnya secara terbatas, masih banyak masyarakat yang tidak percaya sirup itu dibuat dari daging kulit buah.

Sirup pala dibuat dengan mengolah kulit buah pala yang sudah matang. Setelah dibersihkan, daging kulit buah itu direndam dengan air panas mendidih hingga lunak.

Setelah didinginkan, air dibuang. Daging kulit pala itu kemudian diblender hingga halus, kemudian diolah dengan cara dipanaskan di dalam wadah. Campurannya hanya gula pasir, tidak ada pengawet buatan.

Perbandingan campurannya satu kilogram daging kulit buah diolah dengan 1,5 kilogram gula pasir. Selain memberikan rasa manis, gula itu juga sekaligus berfungsi sebagai pengawet alami. Berdasarkan pengalaman, sirup yang telah jadi, bisa bertahan hingga lima bulan di suhu ruang dan bisa lebih panjang bila diletakkan dalam lemari pendingin.

Tati bercerita, awalnya 15 orang ibu-ibu yang tergabung dalam KUPS Lagan Saiyo itu menggunakan peralatan milik sendiri secara swadaya, namun pada 2024, Dinas Kehutanan Sumatera Barat memberikan bantuan satu set peralatan pengolahan sirup pala, mulai dari pembuat jus, pengaduk listrik dan pemanas gas, "show case", hingga peralatan kecil, seperti timbangan digital, panci, dan spatula.

Alat pengolahan bantuan Dinas Kehutanan Sumatera Barat itu sangat membantu usaha para ibu, dengan kapasitas 20 liter dengan lama produksi sekitar satu jam.

Sekarang, ibu-ibu di Nagari Lagan Mudik Punggasan memiliki ilmu dan bisa membuat sirup pala. Produk yang dihasilkan sudah dijual hingga ke Jambi dan Pekanbaru, meskipun masih melalui jaringan keluarga.


Harapan masa depan

Usaha yang masih tergolong baru dirintis itu telah memberikan manfaat bagi ibu-ibu di Nagari Lagan Mudik Punggasan. Selain bisa menambah penghasilan, usaha itu juga membuat kaum ibu sering berkumpul untuk bertukar fikiran, sehingga lebih membuka cakrawala berpikir. Mereka bahkan menjadi haus untuk bisa mereguk ilmu pengetahuan yang lebih dalam.

Setelah bisa memproduksi, mereka memerlukan tambahan ilmu mengenai pemasaran, sehingga jangkauan pemasaran produk bisa lebih luas. Diperlukan pelatihan lanjutan bagi mereka untuk meningkatkan kapasitas sumber daya manusia (SDM).

Dari pertemuan-pertemuan itu pula terbersit harapan untuk bisa mengembangkan usaha itu menjadi lebih besar. Perizinan kemudian diurus, mulai dari NIB hingga label halal. Setelah itu baru ke pengurusan izin edar.


Pentingnya kolaborasi

Penyuluh Kehutanan UPTD KPHP Pesisir Selatan Urip Azhari mengatakan usaha pihaknya tidak berhenti memberikan pemberdayaan pada masyarakat sekitar hutan sampai di KUPS Lagan Saiyo saja.

Rencana kerja telah dibuat untuk memberikan pelatihan bagi ibu-ibu di nagari lain di Pesisir Selatan dalam hal pengolahan daging kulit buah pala menjadi sirup, karena pala memang menjadi salah satu potensi besar di daerah itu.

Ke depan, mereka akan memberdayakan anggota KUPS Lagan Saiyo sebagai narasumber untuk berbagi ilmu pada ibu-ibu dari nagari yang lain. Dengan demikian, akan ada keterikatan antara mereka, sehingga ke depan diharapkan secara bersama-sama bisa meneruka jalan agar sirup pala menjadi produk khas dari Pesisir Selatan.

Jika pergi ke Kota Medan orang membawa bika ambon sebagai oleh-oleh, ke Bukittinggi membawa sanjai, maka ke depan, bila orang datang ke Pesisir Selatan akan membawa sirup pala sebagai oleh-oleh.

Meski demikian, setiap lembaga pemerintahan memiliki keterbatasan kewenangan. Karena itu untuk mendorong akselerasi pengembangan usaha ibu-ibu di sekitar hutan perlu kolaborasi, perlu keroyokan semua lembaga, baik di pusat, provinsi hingga kabupaten/kota. Bahkan, pihaknya bisa melibatkan BUMN lewat program kepedulian sosial perusahaan (CSR) untuk usaha ibu-ibu di sekitar hutan.

Dengan demikian, mimpi ibu-ibu sekitar kawasan hutan untuk terus meningkatkan kapasitas diri dan membantu kesejahteraan keluarga akan terus berkembang. Semua upaya itu sekaligus menunjukkan bukti kepada masyarakat bahwa negara hadir untuk mereka mengembangkan potensi yang ada di sekitarnya.