Perpusnas-Kemenhan ulas pentingnya literasi pertahanan bagi masyarakat
11 Oktober 2024 19:28 WIB
Dari kiri ke kanan, Staf Khusus Kementerian Pertahanan Dahnil Anzar Simanjuntak, Deputi Bidang Pengembangan Bahan Pustaka dan Jasa Informasi Perpusnas Mariana Ginting, Sekretaris Utama Perpusnas Joko Santoso dalam acara "Bicara Buku Politik Pertahanan" di Perpusnas, Jakarta, Kamis (10/10/2024). ANTARA/HO-Perpustakaan Nasional
Jakarta (ANTARA) - Perpustakaan Nasional (Perpusnas) dan Kementerian Pertahanan (Kemenhan) mengulas pentingnya literasi pertahanan bagi masyarakat saat membahas buku berjudul “Politik Pertahanan” karya Staf Khusus Kementerian Pertahanan Dahnil Anzar Simanjuntak di Perpusnas, Jakarta, Kamis.
“Ada dua poin penting dalam buku tersebut yang harus mendapatkan perhatian, khususnya dari perpustakaan. Dua poin itu terkait bela negara dan fenomena clicktivism, serta tentang milenial, bela negara, dan tradisi baca,” ujar Dahnil Anzar dalam keterangannya di Jakarta, Jumat.
Menurutnya, generasi masa kini tengah menghadapi kondisi memprihatinkan akibat fenomena clicktivism, yakni fenomena di mana mereka merasa sudah melakukan sesuatu saat selesai memberikan komentar atas sebuah isu di media sosial, padahal sebenarnya di kehidupan nyata tidak melakukan apa-apa.
“Clicktivism adalah sesuatu yang berbahaya dan harus dilawan, mereka harus ditarik ke dunia nyata. Jika dibiarkan, akan menjadi ancaman serius untuk pertahanan kebudayaan kita,” katanya.
Baca juga: Ahli: Literasi baik penting guna kelola informasi medsos kala kampanye
Baca juga: Kemkominfo ajak anak muda bijak dan rajin literasi diri di era medsos
Ia menyebutkan, tradisi baca juga menjadi sesuatu yang sulit untuk dipertahankan karena saat ini masyarakat diserang oleh banyaknya informasi siber yang tidak memiliki kepastian sumber.
“Kelemahan kita saat ini adalah serbuan siber karena kita malas baca. Kemudian, tradisi cek dan ricek informasi menjadi lemah karena sumbernya tidak ada. Tradisi baca ini tidak mudah untuk dijaga karena menjadi pintu masuk lemahnya pertahanan sumber daya manusia kita,” ucapnya.
Ia juga mengemukakan pentingnya literatur tentang pertahanan untuk membangun kembali tradisi dari para bapak bangsa atau founding fathers.
“Perpustakaan harus menjadi sentral kampanye atau gerakan membaca untuk membangun kembali tradisi para founding fathers. Ini adalah warisan yang harus dihidupkan terus menerus sebagai simbol peradaban Indonesia yang semakin maju,” ujar dia.
Baca juga: Wakil Ketua MPR: Literasi tangkal hoaks pada tahun pemilu penting
Baca juga: Pakar komunikasi jelaskan untung-rugi "curhat" di media sosial
Sementara itu, Sekretaris Utama Perpusnas yang juga menjadi pembahas buku, Joko Santoso, mengulas berbagai pertahanan dari berbagai tataran kehidupan bernegara, di mana salah satu hal menarik dalam buku tersebut yakni tentang diskusi yang hanya dapat dilakukan oleh anak bangsa yang merawat rasionalitasnya dengan membaca.
“Untuk dapat terlibat dalam dialog yang aktif dan partisipatif hanya bisa dilakukan dengan banyak membaca,” tuturnya.
Sementara itu, Deputi Bidang Pengembangan Bahan Pustaka dan Jasa Informasi Perpusnas Mariana Ginting mengatakan, diskusi mendalam tentang isi buku dapat mendorong rasa ingin tahu dan memantik minat membaca masyarakat.
“Kegiatan bicara buku ini menjadi wahana dan ruang untuk membudayakan berpikir kritis dengan mendorong peserta untuk tidak hanya membaca, tetapi juga berpikir kritis dan mendalami makna yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian, kebiasaan membaca secara analitis yang sangat penting dalam pengembangan budaya literasi akan terbentuk,” paparnya.
Baca juga: Pegiat medsos: Sudah saatnya literasi digital masuk kurikulum
Baca juga: Akademisi: Remaja perlu bekal literasi informasi dan kritis di medsos
Baca juga: Aktivis: Pentingnya literasi digital untuk penggunaan medsos
“Ada dua poin penting dalam buku tersebut yang harus mendapatkan perhatian, khususnya dari perpustakaan. Dua poin itu terkait bela negara dan fenomena clicktivism, serta tentang milenial, bela negara, dan tradisi baca,” ujar Dahnil Anzar dalam keterangannya di Jakarta, Jumat.
Menurutnya, generasi masa kini tengah menghadapi kondisi memprihatinkan akibat fenomena clicktivism, yakni fenomena di mana mereka merasa sudah melakukan sesuatu saat selesai memberikan komentar atas sebuah isu di media sosial, padahal sebenarnya di kehidupan nyata tidak melakukan apa-apa.
“Clicktivism adalah sesuatu yang berbahaya dan harus dilawan, mereka harus ditarik ke dunia nyata. Jika dibiarkan, akan menjadi ancaman serius untuk pertahanan kebudayaan kita,” katanya.
Baca juga: Ahli: Literasi baik penting guna kelola informasi medsos kala kampanye
Baca juga: Kemkominfo ajak anak muda bijak dan rajin literasi diri di era medsos
Ia menyebutkan, tradisi baca juga menjadi sesuatu yang sulit untuk dipertahankan karena saat ini masyarakat diserang oleh banyaknya informasi siber yang tidak memiliki kepastian sumber.
“Kelemahan kita saat ini adalah serbuan siber karena kita malas baca. Kemudian, tradisi cek dan ricek informasi menjadi lemah karena sumbernya tidak ada. Tradisi baca ini tidak mudah untuk dijaga karena menjadi pintu masuk lemahnya pertahanan sumber daya manusia kita,” ucapnya.
Ia juga mengemukakan pentingnya literatur tentang pertahanan untuk membangun kembali tradisi dari para bapak bangsa atau founding fathers.
“Perpustakaan harus menjadi sentral kampanye atau gerakan membaca untuk membangun kembali tradisi para founding fathers. Ini adalah warisan yang harus dihidupkan terus menerus sebagai simbol peradaban Indonesia yang semakin maju,” ujar dia.
Baca juga: Wakil Ketua MPR: Literasi tangkal hoaks pada tahun pemilu penting
Baca juga: Pakar komunikasi jelaskan untung-rugi "curhat" di media sosial
Sementara itu, Sekretaris Utama Perpusnas yang juga menjadi pembahas buku, Joko Santoso, mengulas berbagai pertahanan dari berbagai tataran kehidupan bernegara, di mana salah satu hal menarik dalam buku tersebut yakni tentang diskusi yang hanya dapat dilakukan oleh anak bangsa yang merawat rasionalitasnya dengan membaca.
“Untuk dapat terlibat dalam dialog yang aktif dan partisipatif hanya bisa dilakukan dengan banyak membaca,” tuturnya.
Sementara itu, Deputi Bidang Pengembangan Bahan Pustaka dan Jasa Informasi Perpusnas Mariana Ginting mengatakan, diskusi mendalam tentang isi buku dapat mendorong rasa ingin tahu dan memantik minat membaca masyarakat.
“Kegiatan bicara buku ini menjadi wahana dan ruang untuk membudayakan berpikir kritis dengan mendorong peserta untuk tidak hanya membaca, tetapi juga berpikir kritis dan mendalami makna yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian, kebiasaan membaca secara analitis yang sangat penting dalam pengembangan budaya literasi akan terbentuk,” paparnya.
Baca juga: Pegiat medsos: Sudah saatnya literasi digital masuk kurikulum
Baca juga: Akademisi: Remaja perlu bekal literasi informasi dan kritis di medsos
Baca juga: Aktivis: Pentingnya literasi digital untuk penggunaan medsos
Pewarta: Lintang Budiyanti Prameswari
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2024
Tags: