OJK: Tantangan sektoral turunkan ranking keuangan syariah Indonesia
11 Oktober 2024 18:09 WIB
Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Mirza Adityaswara menghadiri Ijtima’ Sanawi (Pertemuan Tahunan) Dewan Pengawas Syariah XX 2024 di Jakarta, Jumat (11/10/2024). ANTARA/Uyu Septiyati Liman.
Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mirza Adityaswara menuturkan bahwa sejumlah tantangan sektoral menyebabkan peringkat sektor keuangan dan perbankan syariah Indonesia turun dalam Global Islamic Economy Indicator (GIEI) 2023.
“Berdasarkan indeks global GIEI, peringkat Indonesia pada aspek keuangan syariah menurun menjadi peringkat ke-7 dari tahun sebelumnya di posisi ke-6. Hal tersebut disebabkan karena beberapa tantangan sektoral,” ujar Mirza Adityaswara di Jakarta, Jumat.
Ia mengatakan bahwa tantangan dalam pengembangan perbankan syariah salah satunya adalah kurangnya pemahaman masyarakat terhadap perbedaan antara produk perbankan konvensional dan perbankan syariah.
Sehingga walaupun 61,9 persen masyarakat mengetahui keberadaan produk perbankan syariah, namun hanya 8,7 persen yang menggunakan produk tersebut.
Sektor perbankan syariah juga masih memerlukan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) dan teknologi informasi. Selain itu, dibutuhkan pula penguatan permodalan.
Sementara tantangan pada sektor pasar modal syariah adalah rendahnya tingkat literasi dan inklusi masyarakat terhadap sektor tersebut, yakni hanya sebesar 5,5 persen untuk tingkat literasi dan 0,4 persen untuk tingkat inklusi.
“Hal ini berarti dari 1.000 orang masyarakat, hanya 55 orang yang mengetahui pasar modal syariah dan hanya 4 orang yang sudah menjadi investor,” jelasnya.
Meskipun begitu, Mirza menyatakan bahwa pihaknya optimistis tingkat literasi dan inklusi pasar modal syariah berangsur-angsur meningkat sejalan dengan perkembangan financial technology (fintech) dan pemberian edukasi yang terus-menerus.
Terkait sektor perasuransian, penjaminan, dan dana pensiun (PPDP) syariah, ia menuturkan bahwa tingkat literasi masyarakat mengenai perasuransian syariah dan dana pensiun syariah masing-masing hanya sebesar 4,6 persen dan 0,3 persen pada 2022.
“Rendahnya angka literasi tersebut menyebabkan rendah pula inklusi masyarakat pada sektor PPDP. Di sisi lain, kurangnya diversifikasi produk antara PPDP syariah dengan PPDP konvensional menyebabkan kurangnya minat masyarakat dalam mengakses produk PPDP syariah,” katanya.
Sementara pengembangan lembaga pembiayaan, modal ventura, lembaga keuangan mikro, dan lembaga keuangan lainnya (PVML) berbasis syariah, lanjutnya, memerlukan analisis pasar dan pemetaan kebutuhan nasabah secara khusus.
Di samping itu, dibutuhkan juga peningkatan inovasi dan diversifikasi produk pembiayaan syariah.
Untuk mengatasi berbagai tantangan sektoral tersebut, Mirza mengatakan bahwa pihaknya berupaya untuk meningkatkan literasi dan inklusi ekonomi syariah di masyarakat, salah satunya melalui program Gerakan Nasional Cerdas Keuangan (GENCARKAN).
“OJK telah meluncurkan Gerakan Nasional Cerdas Keuangan, kami menyebutnya GENCARKAN, dengan harapan kegiatan literasi dan inklusi keuangan, termasuk keuangan syariah, dapat terlaksana secara kolaboratif,” imbuhnya.
Berdasarkan Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan 2024, secara umum tingkat literasi dan inklusi masyarakat terhadap keuangan syariah di Indonesia telah mengalami peningkatan.
Tingkat literasi keuangan syariah di masyarakat tercatat sebesar 39,11 persen, sedangkan tingkat inklusi sebesar 12,88 persen.
“Berdasarkan indeks global GIEI, peringkat Indonesia pada aspek keuangan syariah menurun menjadi peringkat ke-7 dari tahun sebelumnya di posisi ke-6. Hal tersebut disebabkan karena beberapa tantangan sektoral,” ujar Mirza Adityaswara di Jakarta, Jumat.
Ia mengatakan bahwa tantangan dalam pengembangan perbankan syariah salah satunya adalah kurangnya pemahaman masyarakat terhadap perbedaan antara produk perbankan konvensional dan perbankan syariah.
Sehingga walaupun 61,9 persen masyarakat mengetahui keberadaan produk perbankan syariah, namun hanya 8,7 persen yang menggunakan produk tersebut.
Sektor perbankan syariah juga masih memerlukan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) dan teknologi informasi. Selain itu, dibutuhkan pula penguatan permodalan.
Sementara tantangan pada sektor pasar modal syariah adalah rendahnya tingkat literasi dan inklusi masyarakat terhadap sektor tersebut, yakni hanya sebesar 5,5 persen untuk tingkat literasi dan 0,4 persen untuk tingkat inklusi.
“Hal ini berarti dari 1.000 orang masyarakat, hanya 55 orang yang mengetahui pasar modal syariah dan hanya 4 orang yang sudah menjadi investor,” jelasnya.
Meskipun begitu, Mirza menyatakan bahwa pihaknya optimistis tingkat literasi dan inklusi pasar modal syariah berangsur-angsur meningkat sejalan dengan perkembangan financial technology (fintech) dan pemberian edukasi yang terus-menerus.
Terkait sektor perasuransian, penjaminan, dan dana pensiun (PPDP) syariah, ia menuturkan bahwa tingkat literasi masyarakat mengenai perasuransian syariah dan dana pensiun syariah masing-masing hanya sebesar 4,6 persen dan 0,3 persen pada 2022.
“Rendahnya angka literasi tersebut menyebabkan rendah pula inklusi masyarakat pada sektor PPDP. Di sisi lain, kurangnya diversifikasi produk antara PPDP syariah dengan PPDP konvensional menyebabkan kurangnya minat masyarakat dalam mengakses produk PPDP syariah,” katanya.
Sementara pengembangan lembaga pembiayaan, modal ventura, lembaga keuangan mikro, dan lembaga keuangan lainnya (PVML) berbasis syariah, lanjutnya, memerlukan analisis pasar dan pemetaan kebutuhan nasabah secara khusus.
Di samping itu, dibutuhkan juga peningkatan inovasi dan diversifikasi produk pembiayaan syariah.
Untuk mengatasi berbagai tantangan sektoral tersebut, Mirza mengatakan bahwa pihaknya berupaya untuk meningkatkan literasi dan inklusi ekonomi syariah di masyarakat, salah satunya melalui program Gerakan Nasional Cerdas Keuangan (GENCARKAN).
“OJK telah meluncurkan Gerakan Nasional Cerdas Keuangan, kami menyebutnya GENCARKAN, dengan harapan kegiatan literasi dan inklusi keuangan, termasuk keuangan syariah, dapat terlaksana secara kolaboratif,” imbuhnya.
Berdasarkan Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan 2024, secara umum tingkat literasi dan inklusi masyarakat terhadap keuangan syariah di Indonesia telah mengalami peningkatan.
Tingkat literasi keuangan syariah di masyarakat tercatat sebesar 39,11 persen, sedangkan tingkat inklusi sebesar 12,88 persen.
Pewarta: Uyu Septiyati Liman
Editor: Abdul Hakim Muhiddin
Copyright © ANTARA 2024
Tags: