Jakarta (ANTARA) - Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudistira mengatakan, Indonesia sudah saatnya menerapkan ekonomi restoratif dalam upaya memberikan keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan lingkungan.


"Sudah saatnya Indonesia menemukan kekuatannya sendiri, tanpa mengikuti model ekonomi mainstream," kata Bhima Yudistira dalam keterangan di Jakarta, Jumat.

Bhima dalam diskusi bertajuk Ekonomi Era Krisis Iklim dan peluncuran buku "Saatnya Ekonomi Restoratif," mengatakan, model ekonomi Indonesia yang terbukti berhasil tahan terhadap krisis, seperti krisis moneter 1998 dan pandemi COVID-19, adalah ekonomi yang tumbuh dari masyarakat lokal dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Dikatakan inilah wujud ekonomi yang tak hanya memeratakan kesejahteraan, tapi juga memulihkan alam karena menghindar dari upaya-upaya ekstraksi besar-besaran seperti penambangan dan perkebunan monokultur yang masif.

Sistem ekonomi restoratif, katanya, dalam studinya, CELIOS mendefinisikan ekonomi restoratif sebagai model ekonomi yang bertujuan memulihkan ekosistem terdegradasi untuk mendapatkan kembali fungsi ekologis dan menyediakan barang serta jasa yang bernilai bagi masyarakat.

“Kalau pemerintah tidak akui ini model ekonomi yang Indonesia banget dan proven, inilah kerugian kita,” tegasnya.

Diskusi ini merupakan kolaborasi antara CELIOS, platform LaporIklim, radio jaringan KBR, sejumlah penulis independen dan beberapa lembaga pendukung, yakni Econusa, Lingkar Temu Kabupaten Lestari, Koalisi Ekonomi Membumi, Traction Energi Asia, Iklimku.org dan Yayasan Bambu Lestari.

Bhima mempertanyakan model ekonomi ekstraktif yang dianggap solutif oleh sebagian pihak.

Menurut hasil penelitian CELIOS, desa yang memiliki basis pendapatan ekstraktif dari penambangan misalnya, cenderung susah mendapatkan fasilitas kesehatan dan pendidikan.

Lebih parah lagi, ketergantungan pada komoditas seperti nikel dan batu bara, yang harganya fluktuatif dan cenderung terus menurun, membuat ekonomi Indonesia rentan dikendalikan oleh eksternal.

Bhima menilai, ekonomi ekstraktif tidak hanya destruktif, tetapi juga merusak lingkungan dan mengancam kesehatan masyarakat.

Pengamat ekonomi Harryadin Mahardika menjelaskan, dilema Indonesia memilih model ekonomi. Indonesia ingin industrialisasi, tetapi kenyataannya tidak mudah karena sudah tertinggal dari efisiensi industri China, India atau Vietnam.

Karena itu, Indonesia saat ini tampak mengejar kekayaan dengan strategi ekstraksi sumber daya dan hilirisasi.

Menurut dia, ini adalah langkah pragmatis tapi realistis dari pemerintahan Joko Widodo yang segera berlalu.

Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Ully Artha Siagian menyoroti pentingnya menjaga keseimbangan antara manusia, ekonomi dan lingkungan.

Untuk membangun ekonomi restoratif dan ekonomi nusantara yang berkelanjutan, Ully menekankan perlunya mengkritisi model ekonomi ekstraktif dan kapitalistik yang berlaku saat ini.

Berdasarkan riset WALHI tahun 2019-2020, ekonomi masyarakat tetap kuat ketika lingkungannya terjaga, termasuk di kawasan gambut, dataran tinggi, dan pesisir.