Jakarta (ANTARA) - Masyarakat adat di Kabupaten Fakfak Papua Barat melestarikan keanekaragaman hayati berbagai jenis burung di wilayah mereka, dengan mendokumentasikannya dalam buku tinjauan yang didukung oleh Konservasi Indonesia (KI) dan komunitas pemandu wisata Fakfak Birding.

Ditemui dalam diskusi dan peluncuran buku yang diadakan di Jakarta Jumat, tokoh budaya Fakfak sekaligus suku Mbaham Matta, Freddy Warpopor, menyebutkan buku "Burung-burung dalam Tinjauan Mbaham Matta, Fakfak" lahir dari kekhawatiran bahwa generasi muda tidak mengetahui rupa burung-burung yang selama ini menjadi bagian dari budaya mereka, seperti muncul di lirik lagu yang kerap dinyanyikan dalam upacara adat.

"Itu karena keprihatinan saya sendiri, itu kekhawatiran saya bahwa tadi dalam nyanyian-nyanyian lagu bahwa anak-anak bahkan saya sendiri tidak tahu burungnya yang mana. Tapi dengan ketika didokumentasikan, dan apalagi sudah jadi buku, kita enak nyanyi, kita juga tahu burungnya," ujar Freddy dalam diskusi yang diadakan memperingati Hari Migrasi Burung Sedunia pada 12 Oktober.

Buku itu sendiri terbit didukung Konservasi Indonesia (KI) dan kelompok Fakfak Birding, yang melakukan pengamatan sejak 2020 sampai 2024.

Fakfak Birding mendapati beragam jenis burung yang tinggal di kawasan Hutan Cagar Alam Fakfak, termasuk tiga jenis Cenderawasih endemik Papua yaitu Cenderawasih Kuning Kecil (Paradisaea minor), Cenderawasih Toowa Cemerlang (Ptiloris magnificus), dan Cenderawasih Belah Rotan (Cicinnurus magnificus).

Freddy menjelaskan, burung memiliki keterkaitan erat dengan legenda dan mitos yang masih hidup di tengah-tengah masyarakat adat di Fakfak. Salah satunya seperti kepercayaan yang dipegang oleh sebagian anggota suku Mbaham Matta, yang mendiami Semenanjung Bomberai.

Mereka meyakini bahwa kemunculan burung Kasuari Gelambir Ganda (Casuarius casuarius) di hutan bukan sekedar fenomena alam, melainkan juga sebagai penunjuk jalan dan juga dipercaya dapat membawa seseorang ke arah jalan yang salah jika mencium niat buruk dari orang tersebut.

Begitupun dengan burung Bubut Pini (Centropus menbeki) yang suaranya di pagi hari dijadikan penanda untuk melubangi alat musik tradisional Fakfak tifa tumour, agar dapat bersuara dengan bagus dan nyaring.

Senior Vice President & Executive Chair Konservasi Indonesia, Meizani Irmadhiany dalam kesempatan yang sama menyebut, penerbitan buku dan dokumentasi yang menjadi bagian di dalamnya sebagai upaya menjaga ekosistem tempat burung-burung itu tinggal, sekaligus memastikan keberlanjutan pengetahuan bagi generasi selanjutnya.

"Ekosistem ini perlu dilindungi karena keterkaitan langsung dengan fungsi kehidupan kita bukan hanya masyarakat langsung di Fakfak tapi masyarakat global," jelasnya.

Menghadapi perubahan iklim menjaga ekosistem, jelasnya, menjadi salah satu langkah penting untuk mengurangi dampak dari pemanasan global yang saat ini terjadi.