Koalisi Masyarakat Pesisir minta batalkan ekspor sedimentasi laut
10 Oktober 2024 22:30 WIB
Sejumlah nelayan yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Pesisir Indonesia membawa spanduk penolakan sedimentasi laut dalam aksi demonstrasi di Kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Jakarta, Kamis (10/10/2024) (ANTARA/HO-Tim Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan)
Jakarta (ANTARA) - Sejumlah organisasi yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Pesisir Indonesia meminta Pemerintah membatalkan kebijakan untuk ekspor sedimentasi laut karena akan berdampak signifikan terhadap kerusakan lingkungan dan keselamatan warga di daerah.
Permintaan itu disampaikan langsung setidaknya oleh 10 organisasi dalam Koalisi Masyarakat Pesisir Indonesia kepada pimpinan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di Jakarta, Kamis.
Ketua Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) Masnuah dalam pertemuan pertemuan dengan pimpinan Kementerian KKP itu, mengatakan bahwa kebijakan pengelolaan hasil sedimentasi laut sudah membuat beberapa desa-desa pesisir di Kabupaten Demak, Jawa Tengah tenggelam; seperti Desa Timbulsloko dan Desa Bedono apalagi sampai material sedimen berupa pasir laut tersebut diekspor.
Bahkan pihaknya menjabarkan saat ini ada ratusan warga di mayoritas kawasan pesisir Kota Semarang, Jawa Tengah juga berada dalam ancaman kehilangan tempat untuk bermukim imbas dari aktivitas reklamasi dan pembabatan hutan mangrove.
“Ini adalah perampasan ruang semakin parah kehilangan pekerjaan, akses transpor yang mahal membuat beban ekonomi semakin sulit. Jadi kami serukan supaya mencabut kebijakan pengelolaan sedimentasi laut ini (PP Nomor 26 Tahun 2023),” kata Masnuah.
Pada kesempatan yang sama, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Susan Herawati menyatakan bahwa Pemerintah dalam hal ini juga Kementerian KKP harus konsisten dan berpegang teguh pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 3/PPUVIII/2010.
Putusan MK tersebut telah menganulir konsep Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) yang sebelumnya diatur Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 dan menjadikan ekspor pasir laut adalah aktivitas ilegal dalam 20 tahun terakhir.
Selain itu, Susan menambahkan, putusan MK nomor 3/PPUVIII/2010 itu mengatur tentang masyarakat memiliki hak konstitusional untuk Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UUPWP) berdasarkan pengetahuan lokal dan kearifan komunitasnya, serta bisa menikmati perairan yang bersih dan sehat.
"Diperlukan konsistensi dalam penerapan aturan yang adil untuk melindungi masyarakat pesisir dan nelayan kecil. Memahami makna kedaulatan, kesejahteraan, dan kebaharian dari perspektif nelayan dan perempuan nelayan," tegas Susan.
Baca juga: Program sedimentasi pasir laut dinilai naikkan ekonomi warga pesisir
Baca juga: Trenggono akui peminat pasir sedimentasi laut banyak
Baca juga: Menko Marves: Dampak negatif ekspor sedimen laut sudah dipikirkan
Permintaan itu disampaikan langsung setidaknya oleh 10 organisasi dalam Koalisi Masyarakat Pesisir Indonesia kepada pimpinan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di Jakarta, Kamis.
Ketua Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) Masnuah dalam pertemuan pertemuan dengan pimpinan Kementerian KKP itu, mengatakan bahwa kebijakan pengelolaan hasil sedimentasi laut sudah membuat beberapa desa-desa pesisir di Kabupaten Demak, Jawa Tengah tenggelam; seperti Desa Timbulsloko dan Desa Bedono apalagi sampai material sedimen berupa pasir laut tersebut diekspor.
Bahkan pihaknya menjabarkan saat ini ada ratusan warga di mayoritas kawasan pesisir Kota Semarang, Jawa Tengah juga berada dalam ancaman kehilangan tempat untuk bermukim imbas dari aktivitas reklamasi dan pembabatan hutan mangrove.
“Ini adalah perampasan ruang semakin parah kehilangan pekerjaan, akses transpor yang mahal membuat beban ekonomi semakin sulit. Jadi kami serukan supaya mencabut kebijakan pengelolaan sedimentasi laut ini (PP Nomor 26 Tahun 2023),” kata Masnuah.
Pada kesempatan yang sama, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Susan Herawati menyatakan bahwa Pemerintah dalam hal ini juga Kementerian KKP harus konsisten dan berpegang teguh pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 3/PPUVIII/2010.
Putusan MK tersebut telah menganulir konsep Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) yang sebelumnya diatur Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 dan menjadikan ekspor pasir laut adalah aktivitas ilegal dalam 20 tahun terakhir.
Selain itu, Susan menambahkan, putusan MK nomor 3/PPUVIII/2010 itu mengatur tentang masyarakat memiliki hak konstitusional untuk Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UUPWP) berdasarkan pengetahuan lokal dan kearifan komunitasnya, serta bisa menikmati perairan yang bersih dan sehat.
"Diperlukan konsistensi dalam penerapan aturan yang adil untuk melindungi masyarakat pesisir dan nelayan kecil. Memahami makna kedaulatan, kesejahteraan, dan kebaharian dari perspektif nelayan dan perempuan nelayan," tegas Susan.
Baca juga: Program sedimentasi pasir laut dinilai naikkan ekonomi warga pesisir
Baca juga: Trenggono akui peminat pasir sedimentasi laut banyak
Baca juga: Menko Marves: Dampak negatif ekspor sedimen laut sudah dipikirkan
Pewarta: M. Riezko Bima Elko Prasetyo
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2024
Tags: