Jakarta (ANTARA) - Akademisi Universitas Katolik Indonesia (Unika) Atma Jaya, Doktor Asmin Fransiska, mengatakan bahwa hukuman mati tidak memberikan ruang aman bagi perempuan dan anak, sehingga dirinya mendorong agar hal itu bisa dihapuskan sepenuhnya dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.

Ia membeberkan, kelompok rentan seperti perempuan dan anak adalah kelompok yang paling dirugikan oleh sistem peradilan pidana yang menerapkan hukuman mati.

"Hukuman mati dalam kasus narkotika erat kaitannya dengan keputusan yang memprioritaskan narasi 'perang melawan narkoba' tanpa memikirkan penentu sosial atau social determinants," kata Asmin dalam diskusi publik untuk memperingati Hari Antihukuman Mati Internasional 2024 yang diselenggarakan oleh Komnas Perempuan secara daring dipantau ANTARA di Jakarta, Kamis.

Lebih lanjut dia membeberkan, penghapusan hukuman mati dapat merekonstruksi sistem peradilan pidana di Indonesia.

Tentu, pilar utamanya berdasarkan hal asasi manusia (HAM), aturan hukum (rule of law), dan demokrasi.

"Secara signifikan tentu akan berdampak kepada peradilan yang independen dan imparsial, pengadilan yang lebih kompeten, penyelenggaraan birokrasi Pemerintahan yang baik, dan jaminan kepastian hukum," ujar perempuan yang juga Dekan Fakultas Hukum Unika Atma Jaya tersebut.

Fransiska menambahkan, dukungan publik terhadap hukuman mati terus menurun.

Berdasarkan survei Oxford University pada 2021 yang dia himpun, dukungan menurun 25 persen saat hukuman alternatif seperti penjara seumur hidup diperkenalkan ke publik.

Menurut dia, jika semakin banyak informasi tentang hukuman mati yang diberikan kepada publik, maka akan semakin rendah dukungan untuk hal itu.

Selain itu, berdasarkan informasi yang Fransiska himpun, mayoritas kriminolog terkemuka di Amerika Serikat (AS) tidak percaya hukuman mati akan mencegah terjadinya pembunuhan.

Oleh sebab itu, tidak ada korelasi yang logis terkait hukuman mati bisa membuat efek jera bagi masyarakat ke depannya.

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau yang kerap dikenal KUHP Baru yang mulai berlaku Januari 2026, hukuman mati bukan lagi masuk menjadi pidana pokok, melainkan pidana bersifat khusus.

Nantinya, pidana mati diancamkan secara alternatif sebagai upaya terakhir untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dan mengayomi masyarakat, sehingga hukuman pidana itu akan ditentukan dalam pasal tersendiri guna menunjukkan bahwa hal itu benar-benar bersifat khusus.
Pidana sendiri terdiri atas pidana pokok, pidana tambahan, dan pidana yang bersifat khusus untuk tindak pidana tertentu yang ditentukan dalam undang-undang.

Sementara, pidana pokok terdiri atas pidana penjara, pidana tutupan, pidana pengawasan, pidana denda, dan pidana kerja sosial.

KUHP Baru itu juga memungkinkan terjadinya perubahan hukuman mati bagi terpidana, dengan memenuhi sejumlah syarat serta melalui tata cara yang telah diatur dalam mekanisme yang berlaku.

Baca juga: Komnas HAM sebut gerakan penghapusan hukuman mati terus disuarakan PBB

Baca juga: Tidak efektif lindungi masyarakat, Komnas desak hukuman mati dihapus