Jakarta (ANTARA) - Perancang Peraturan Perundang-undangan Ahli Muda Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan (DJPP) Kementerian Hukum dan HAM RI Ramoti Samuel menegaskan bahwa hukuman mati bukan lagi masuk menjadi pidana pokok, melainkan pidana bersifat khusus dalam KUHP baru.

Saat diskusi publik untuk memperingati Hari Antihukuman Mati Internasional 2024, Ramoti Samuel mengemukakan bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan bahwa komutasi atau pergantian pidana mati tidak lagi masuk sebagai pidana pokok sehingga hanya bersifat khusus dan menjadi alternatif.

"Dalam UU itu disebutkan pidana mati adalah pidana yang paling berat dan harus selalu diancamkan secara alternatif dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun," kata Ramoti Samuel dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dengan tema Hukuman Mati dan Pengaruhnya dalam Menciptakan Rasa Aman kepada Masyarakat di Jakarta, Kamis.

Lebih lanjut dia mengatakan bahwa pidana mati diancamkan secara alternatif sebagai upaya terakhir untuk mencegah tindak pidana dan mengayomi masyarakat sehingga hukuman pidana itu akan ditentukan dalam pasal tersendiri guna menunjukkan bahwa hal itu benar-benar bersifat khusus.

Karena telah menjadi alternatif, kata dia, pidana mati sangat terbuka untuk menjadi bentuk hukuman lain sesuai dengan Pasal 68 ayat (3) KUHP yang mulai berlaku pada bulan Januari 2026.

"Dalam hal terdapat pilihan antara pidana mati dan pidana seumur hidup atau terdapat pemberatan pidana atas tindak pidana yang dijatuhi pidana penjara 15 tahun, pidana penjara untuk waktu tertentu dapat dijatuhkan untuk waktu 20 tahun berturut-turut," ujar pria yang kerap disapa Samuel tersebut.

Baca juga: Kelahiran KUHP di tangan anak bangsa sendiri
Baca juga: Ketentuan "politik identitas" dalam KUHP baru

Selain itu, KUHP baru juga menekankan tentang penundaan pelaksanaan pidana mati dengan sejumlah kriteria sesuai dengan Pasal 99 ayat (4).

Kriteria yang dimaksud adalah perempuan hamil, perempuan yang sedang menyusui bayinya, dan orang yang sakit jiwa.

Bagi perempuan hamil, lanjut Samuel, wajib ditunggu sampai melahirkan. Begitu juga dengan perempuan yang sedang menyusui, pelaksanaan harus menunggu sampai tidak lagi menyusui bayinya.

Sementara itu, bagi yang sakit jiwa, eksekusi bisa dilaksanakan sampai terpidana sembuh. Aturan baru itu juga menyebutkan bahwa perubahan pidana mati sangat memungkinkan terjadi menjadi pidana seumur hidup.

"Jika terpidana selama masa percobaan menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan keputusan presiden (keppres) setelah mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung, dan itu sesuai dengan Pasal 100 ayat (4)," kata Samuel.

Meski bisa berubah, lanjut dia, mekanisme yang akan dilalui telah diatur dalam sejumlah tata cara, mulai dari permohonan grasi hingga melalui masa percobaan 10 tahun.

Dalam KUHP baru, pidana terdiri atas pidana pokok, pidana tambahan, dan pidana yang bersifat khusus untuk tindak pidana tertentu yang ditentukan dalam undang-undang.

Adapun pidana pokok terdiri atas pidana penjara, pidana tutupan, pidana pengawasan, pidana denda, dan pidana kerja sosial.

Baca juga: Kohabitasi tidak bisa dipidana jika tanpa aduan