Jakarta (ANTARA) - Istilah "toxic" belakangan ini populer digunakan untuk merujuk pada sesuatu yang menimbulkan ketidaknyamanan hingga membawa pengaruh pada kondisi mental seseorang. Istilah tersebut kerap dibahas di kalangan pekerja untuk menggambarkan lingkungan pekerjaan beracun di mana terjadi hubungan kurang harmonis baik antar-sesama pekerja maupun dengan atasan.

Para pekerja yang mengalami tekanan mental di kantor akibat beban pekerjaan berat dan lingkungan pekerjaan yang tidak mendukung, memungkinkan pekerja mengalami gangguan kesehatan jiwa, seperti kecemasan, kepanikan hingga depresi. Lingkungan kerja yang kurang mendukung adanya kenyamanan dan mengganggu kesehatan mental membuat karyawan tidak bekerja secara optimal.

Urgensi untuk memerhatikan kesehatan mental para pekerja inilah yang menjadi tema Hari Kesehatan Mental Sedunia tahun 2024 yang diperingati setiap tanggal 10 Oktober. Pemilihan tema tersebut bertujuan untuk menyoroti hubungan penting antara kesehatan mental dan pekerjaan terkait stigma, diskriminasi, serta implikasi negatif seperti pelecehan di tempat kerja.

"It is Time to Prioritize Mental Health in the Workplace" atau "Saatnya Memprioritaskan Kesehatan Jiwa di Tempat Kerja", menjadi kampanye untuk memerhatikan antara pekerjaan dan kesehatan mental.

Data Organisasi Kesehatan Dunia WHO pada tahun 2019 memperkirakan sekitar 15 persen orang dewasa usia kerja mengalami gangguan mental, sedangkan pada tahun 2022, organisasi tersebut mempublikasikan data yang menyebutkan bahwa satu dari delapan orang di dunia memiliki masalah kesehatan jiwa.

Secara global, sebesar 1 miliar orang saat ini hidup dengan gangguan mental akibat depresi dan kecemasan dimana 15 persen di antaranya adalah pada usia kerja. Kondisi tersebut menjadi penghambat perekonomian, dengan kerugian sebesar 1 triliun dolar AS karena penurunan produktivitas.

Laporan ilmiah yang dirilis oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), saat pandemi COVID-19 pada tahun pertama 2020, prevalensi kecemasan dan depresi global meningkat hingga 25 persen. Laporan tersebut juga menyoroti siapa yang paling terdampak dan merangkum dampak pandemi terhadap ketersediaan layanan kesehatan mental dan bagaimana hal ini berubah selama pandemi.

Kekhawatiran tentang potensi peningkatan kondisi kesehatan mental telah mendorong 90 persen negara yang disurvei untuk memasukkan dukungan kesehatan mental dan psikososial dalam respons COVID-19, tetapi kesenjangan dan kekhawatiran besar masih tetap ada.

“Informasi yang kami miliki saat ini mengenai dampak COVID-19 terhadap kesehatan mental dunia hanyalah puncak gunung es. Ini merupakan seruan bagi semua negara untuk memberikan perhatian lebih terhadap kesehatan mental dan melakukan upaya yang lebih baik dalam mendukung kesehatan mental masyarakatnya," kata Direktur Jenderal WHO Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus.

Badan Kesehatan Dunia (WHO) lebih lanjut mengingatkan individu yang sehat secara mental adalah individu yang dapat menyadari setiap potensi yang ia miliki, mampu mengelola stres yang wajar, dapat bekerja secara produktif serta mampu berperan dalam komunitasnya.


Diskriminasi pekerja

Di Indonesia, mengacu pada data dari Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes), sekitar 1 dari 10 orang di Indonesia mengidap gangguan mental. Dalam data yang sama, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 mengungkapkan bahwa lebih dari 19 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun di Indonesia mengalami gangguan mental emosional.

Kementerian Kesehatan melakukan sejumlah upaya guna menjaga kesehatan mental para pekerja dan penduduk usia produktif, seperti skrining serta penanganan penyakit, guna memaksimalkan potensi bonus demografi pada 2020-2035.

Pada periode 2020-2035 tersebut, sebanyak 70 persennya adalah penduduk usia produktif, yang berperan sebagai tulang punggung keluarga, aset negara dalam perekonomian, serta yang melahirkan generasi penerus bangsa.

Pekerjaan yang layak dapat memberikan dampak positif bagi kesehatan mental seseorang, sementara lingkungan kerja yang buruk seperti diskriminasi, ketidaksetaraan, beban kerja yang berlebihan, rendahnya kontrol atas pekerjaan dan ketidakpastian kerja dapat menimbulkan risiko bagi kesehatan mental.

Masalah kesehatan jiwa atau mental ini adalah salah satu permasalahan yang serius yang harus menjadi atensi dan kepedulian bersama, apalagi setelah kejadian pandemi COVID-19 yang berdampak besar terhadap kesehatan mental masyarakat dan individu selayaknya menjadi pelajaran berharga untuk saling peduli.

Salah satu masalah klasik yang berdampak pada kesehatan mental adalah persoalan diskriminasi bagi perempuan di dunia kerja, yaitu rata-rata upah dan pelindungan jaminan sosial perempuan selalu lebih rendah dibandingkan laki-laki.

Data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Februari 2023 menunjukkan masih ada tantangan dan diskriminasi bagi pekerja perempuan di tempat kerja. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan masih lebih rendah (54,42 persen) daripada angkatan kerja laki-laki yang tercatat lebih besar (83,98 persen).

Upah yang lebih rendah ditemukan nyaris di seluruh jenjang pendidikan, jenis pekerjaan, dan sektor pekerjaan. Sementara itu persentase perempuan yang bekerja paruh waktu di lapangan usaha tersier dan sektor informal relatif lebih tinggi dibandingkan laki-laki.

Selain diskriminasi upah, perempuan pekerja menghadapi tekanan dan kekhawatiran pada ancaman kekerasan dan pelecehan verbal hingga seksual di lingkungan tempat kerja yang kerap diabaikan oleh rekan kerja bahkan oleh atasan.

Kementerian Ketenagakerjaan memberikan perhatian terhadap upaya menghapus pelecehan dan kekerasan di tempat kerja, diantaranya melalui penyusunan keputusan menteri tentang pedoman pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di tempat kerja.

Kenyamanan bekerja tercantum dalam Pasal 5 dan 6 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur pelindungan kepada semua pekerja, baik laki-laki maupun perempuan, dengan memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama dalam bekerja. Sejalan dengan konsepsi kerja layak untuk semua, di mana salah satu hak dasar bagi pekerja adalah untuk diperlakukan tidak diskriminatif dan tidak dilecehkan.

Menjaga kesehatan mental sama pentingnya dengan menjaga kesehatan fisik. Di tengah tuntutan hidup yang semakin tinggi sering kali masyarakat abai terhadap kesejahteraan mental yang berdampak pada semua aspek kehidupan. Karena itu, kesehatan fisik harus diimbangi dengan kesehatan jiwa yang baik agar hidup menjadi lebih tenang, tentram dan produktif.