Jakarta (ANTARA) - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menekankan pentingnya sikap berpikir kritis dan rasional dalam penelitian dengan mendorong science temper atau rasa ingin tahu dan pembelajaran berbasis penalaran guna meningkatkan publikasi ilmiah yang kuat dan berdampak.

Anggota Dewan Pengarah BRIN, I Gede Wenten menyebutkan scientific temper harus ditumbuhkembangkan untuk meningkatkan kredibilitas dan reprodusibilitas penelitian, mendorong praktik penelitian yang etis dan transparan, serta memperkuat kualitas dan dampak publikasi ilmiah.

Baca juga: BRIN: Publikasi ilmiah penting bagi akademik hingga ekonomi negara

“Hasil yang diharapkan adalah publikasi ilmiah yang lebih kuat dan berdampak, yang mampu memberikan kontribusi bagi komunitas ilmiah global dan kemajuan masyarakat,” ujar Wenten dalam keterangannya di Jakarta pada Rabu.

Wenten mengungkapkan bahwa dari dua persen ilmuwan terbaik dunia tahun 2024, 150 diantaranya berasal dari Indonesia.

“Angka ini masih ketinggalan dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Vietnam yang memiliki 201 scientist (ilmuwan), Thailand 392 scientist, bahkan Singapura memiliki 1.258 scientist. Sementara peringkat pertama diraih USA sebanyak 71.392 scientist, kedua China dengan 27.165 scientist,” paparnya.

Menurutnya, ada tujuh langkah yang perlu dilakukan untuk memberdayakan generasi akademisi masa depan.

Pertama, pembimbingan terstruktur dimana peneliti muda dibimbing dalam pengembangan keterampilan dan integritas ilmiah. Kedua, akses sumber daya dan pendanaan guna mendorong inovasi melalui dukungan riset berkelanjutan.

Ketiga, kolaborasi lintas disiplin untuk memperkuat kualitas riset dengan kerja sama multi disiplin. Keempat, adaptasi praktik global yaitu mengintegrasikan strategi internasional untuk konteks lokal.

Baca juga: Wapres: Pastikan publikasi karya ilmiah bermanfaat bagi industri

Baca juga: UNG dan IPB kerja sama peningkatan publikasi ilmiah


Kelima, pengakuan dan insentif dimana hal ini bisa meningkatkan motivasi melalui penghargaan kontribusi riset.

Keenam, budaya pembelajaran berkelanjutan yang bisa mendorong pengembangan keterampilan dan pembelajaran seumur hidup.

Terakhir, mengatasi hambatan sistemik dari kebijakan inklusif yang mendukung partisipasi luas dalam riset dan pendidikan.