Pakar nilai tindak pidana ideologi negara perlu diatur lebih lanjut
9 Oktober 2024 19:22 WIB
Ketua Program Studi Kajian Terorisme Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia Muhamad Syauqillah. (ANTARA/HO-Dokumentasi Pribadi)
Jakarta (ANTARA) - Ketua Program Studi Kajian Terorisme Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia Muhamad Syauqillah menilai tindak pidana terhadap ideologi negara dalam KUHP Pasal 188–190 perlu diatur lebih lanjut, khususnya terkait tindak pidana terorisme.
“Kejelasan dan rencana implementasi KUHP ini penting karena sebagai pengkaji terorisme, KUHP yang akan diberlakukan pada 2026, khususnya pasal 188, 189, dan 190 dengan tegas mengatur pidana Ideologi yang bertentangan atau bahkan meniadakan Pancasila,” ucap Syauqi dalam keterangannya di Jakarta, Rabu.
Ia mengatakan bahwa salah satu praktik yang masih ditemui saat ini adalah terorisme yang berbasis ideologi agama dan kekerasan.
Oleh karena itu, menurut dia, hadirnya aturan kejahatan terhadap ideologi negara perlu penjelasan lebih jauh dalam singgungannya dengan terorisme.
Dalam diskusi kelompok terpumpun di Kajian Terorisme, SKSG UI, Wakil Direktur SKSG Prof. Eva Achjani Zulfa mengatakan kebebasan individu untuk menganut ideologi ajaran tertentu dilindungi HAM, namun sekaligus dibatasi dengan aturan tidak merugikan orang lain.
Untuk itu, menurutnya, penanganan pidana ideologi harus hati-hati.
“Ketika tindak pidana ini negara terlalu over reaktif atau over kriminal. Maka bukan bikin takut malah bikin lancar. Perlu juga dicermati soal pengkhianatan, penghasutan, mengancam ketertiban umum,” ujarnya.
Eva menjelaskan tidak mudahnya mempidanakan ideologi dengan mengambil contoh hukuman mati Imam Samudra yang justru menginspirasi jaringannya.
Selain itu, dijelaskan juga tentang Socrates yang dihukum mati karena ideologinya, tetapi pikirannya masih dipakai sampai sekarang, demikian juga Copernicus yang dihukum mati karena teori heliosentrisnya tapi teori tersebut terus dipakai.
“Ada yang perlu dicermati juga jika pasal 188–190 ini diterapkan sebagai ordinary crime sementara terorisme extraordinary crime, maka bagaimana dengan lapas super maximum security?” ucapnya.
Ia menilai masih perlunya penjelasan lebih detail. Penjelasan mengenai pembuktian unsur delik, hingga lembaga yang memiliki kewenangan sebagai menginterpretasi Pancasila sangat diperlukan.
Baca juga: KPTIK ingatkan potensi penyalahgunaan AI pada tindak pidana terorisme
Baca juga: BNPT sebut penegakan hukum ke teroris perlu pertimbangkan HAM
“Kejelasan dan rencana implementasi KUHP ini penting karena sebagai pengkaji terorisme, KUHP yang akan diberlakukan pada 2026, khususnya pasal 188, 189, dan 190 dengan tegas mengatur pidana Ideologi yang bertentangan atau bahkan meniadakan Pancasila,” ucap Syauqi dalam keterangannya di Jakarta, Rabu.
Ia mengatakan bahwa salah satu praktik yang masih ditemui saat ini adalah terorisme yang berbasis ideologi agama dan kekerasan.
Oleh karena itu, menurut dia, hadirnya aturan kejahatan terhadap ideologi negara perlu penjelasan lebih jauh dalam singgungannya dengan terorisme.
Dalam diskusi kelompok terpumpun di Kajian Terorisme, SKSG UI, Wakil Direktur SKSG Prof. Eva Achjani Zulfa mengatakan kebebasan individu untuk menganut ideologi ajaran tertentu dilindungi HAM, namun sekaligus dibatasi dengan aturan tidak merugikan orang lain.
Untuk itu, menurutnya, penanganan pidana ideologi harus hati-hati.
“Ketika tindak pidana ini negara terlalu over reaktif atau over kriminal. Maka bukan bikin takut malah bikin lancar. Perlu juga dicermati soal pengkhianatan, penghasutan, mengancam ketertiban umum,” ujarnya.
Eva menjelaskan tidak mudahnya mempidanakan ideologi dengan mengambil contoh hukuman mati Imam Samudra yang justru menginspirasi jaringannya.
Selain itu, dijelaskan juga tentang Socrates yang dihukum mati karena ideologinya, tetapi pikirannya masih dipakai sampai sekarang, demikian juga Copernicus yang dihukum mati karena teori heliosentrisnya tapi teori tersebut terus dipakai.
“Ada yang perlu dicermati juga jika pasal 188–190 ini diterapkan sebagai ordinary crime sementara terorisme extraordinary crime, maka bagaimana dengan lapas super maximum security?” ucapnya.
Ia menilai masih perlunya penjelasan lebih detail. Penjelasan mengenai pembuktian unsur delik, hingga lembaga yang memiliki kewenangan sebagai menginterpretasi Pancasila sangat diperlukan.
Baca juga: KPTIK ingatkan potensi penyalahgunaan AI pada tindak pidana terorisme
Baca juga: BNPT sebut penegakan hukum ke teroris perlu pertimbangkan HAM
Pewarta: Putu Indah Savitri
Editor: Guido Merung
Copyright © ANTARA 2024
Tags: