Banda Aceh (ANTARA) - Belasan pria mengenakan baju oranye keluar teratur dari salah satu ruang kecil reserse kriminal sambil menunduk. Personel polisi mengarahkan mereka menuju ruang Indoor markas Polresta Banda Aceh.

Dengan tangan terikat borgol plastik dan memakai penutup wajah menggunakan masker putih, mereka dibariskan tepat di depan papan billboard hitam bertuliskan Satuan Reserse Kriminal Polresta Banda Aceh.

Sebanyak 19 pria tersebut merupakan tersangka permainan judi daring yang ditangkap polisi pada 15 Juni 2024. Semua tersangka diamankan dari berbagai warung kopi dalam wilayah hukum Kota Banda Aceh, dengan barang bukti yang disita 17 unit handphone.

Kapolresta Banda Aceh, Kombes Pol Fahmi Irwan Ramli menjelaskan pengungkapan kasus judi daring tersebut berawal dari informasi masyarakat terkait maraknya permainan judi secara digital dengan menggunakan handphone di sejumlah warung kopi.

Setelah dilakukan penyelidikan, Satreskrim Polresta Banda Aceh menangkap 25 orang yang diduga terlibat dalam perjudian tersebut.

Meskipun demikian, setelah diperiksa lebih lanjut secara intensif, hanya ditemukan 19 orang yang terpenuhi unsur pidana perjudian atau maisir, sebagaimana Pasal 18 Jo 19 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat. Mereka terlibat judi daring dengan cara masuk ke link menggunakan handphone
Kapolresta Banda Aceh Kombes Pol Fahmi Irwan Ramli (dua kiri) saat memperlihatkan barang bukti kasus judi online, di Mapolresta Banda Aceh, Kamis (19/6/2024) (ANTARA/Rahmat Fajri)

Akibat perbuatannya, para tersangka dijerat dengan Qanun Aceh nomor 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat dengan ancaman hukuman cambuk atau denda, paling banyak 300 gram emas murni.​​​


Uqubat cambuk

Secara nasional, kasus perjudian judi online diselesaikan dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) atau UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Lebih spesifik, Pasal 27 ayat 2 UU ITE itu menjelaskan bahwa judi daring dimaksud adalah setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan perjudian.

Khusus untuk Tanah Rencong (sebutan untuk Provinsi Aceh), dalam menyelesaikan perkara judi daring tidak menggunakan hukum nasional, karena wilayah itu memiliki kekhususan dan keistimewaan lewat UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).

Dari turunan dari UUPA tersebut, Pemerintah Aceh bersama Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) telah melahirkan "Qanun Aceh" atau Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.

Qanun Aceh tersebut diberlakukan guna menyelesaikan kasus pidana yang berkaitan dengan pelanggaran syariat Islam, seperti perzinahan, khamar (mabuk), pelecehan seksual, hingga maisir (perjudian), baik secara daring maupun luring.

Dalam Qanun Hukum Jinayat itu, terkait maisir tertera pada Bab IV Jarimah dan Uqubat (hukuman) bagian kedua tentang Maisir, disampaikan mulai dari Pasal 18 sampai Pasal 22, baik sanksi untuk pemain hingga penyedia fasilitas perjudian.

Kapolda Aceh Irjen Pol Achmad Kartiko, beberapa waktu lalu menyatakan bahwa pemain judi daring di daerah itu dijerat dengan Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat, yakni pada pasal terkait maisir.

Pemberlakuan qanun itu karena keistimewaan Aceh mengenai regulasi, sehingga siapapun yang berdomisili di daerah Serambi Mekkah ini, tunduk pada peraturan daerah tersebut.

Untuk memberikan efek jera, Qanun Aceh tersebut juga mengatur tentang pelaksanaan prosesi hukuman cambuk, yakni diselenggarakan di hadapan umum, guna menjadi pembelajaran bagi masyarakat atau tadabbur (Pasal 2).


Fatwa haram

Kehadiran Qanun Hukum Jinayat yang mengatur sanksi uqubat cambuk belum dirasa cukup untuk menyelesaikan permasalahan judi daring di Aceh. karena itu masih perlu memberikan penyadaran lewat pendekatan agama.

Sebagai daerah yang menerapkan syariat Islam, masyarakat Aceh sangat memuliakan ulama, arahan dari ulama bisa langsung menyentuh hati.

Sebagai langkah penyadaran atau pencegahan, Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh telah mengeluarkan Fatwa Nomor 1 Tahun 2016 tentang Judi Online.
​​​
Tangkapan layar Fatwa MPU Aceh Nomor 1 Tahun 2016 tentang Judi Online. ​​​​​​ (ANTARA/Rahmat Fajri)


Dalam fatwa tersebut, MPU Aceh menyatakan bahwa judi daring adalah permainan yang memasang taruhan uang atau bentuk lain melalui internet dan media sosial lainnya.

Ketetapan kedua secara tegas menyebutkan bahwa judi daring hukumnya haram, dan pemerintah bersama masyarakat wajib memberantas segala jenis perjudian.

Fatwa tersebut juga menyampaikan beberapa tausiyah, yakni pemerintah diharapkan melakukan sosialisasi lebih intensif tentang bentuk dan bahaya negatif judi daring.

Penangkapan terhadap para pelaku judi daring merupakan wujud bahwa pemerintah telah meningkatkan pengawasan terhadap penggunaan teknologi media internet. Pemerintah, dalam hal ini polisi, menindak tegas para pihak yang terlibat dalam kegiatan perjudian.

Di luar yang telah diupayakan oleh pemerintah lewat aparat penegak hukum, masyarakat diharapkan ikut mengawasi dan melaporkan kegiatan perjudian kepada pihak berwajib.

Ketua MPU Aceh, Tgk Faisal Ali menyatakan bahwa fatwa haram judi daring yang telah dikeluarkan tersebut memberikan pengaruh besar terhadap orang-orang yang masih memiliki iman kuat, minimal bisa menyentuh hati masyarakat.

Terkait upaya pengawasan dari pemerintah, MPU mencatat dalam beberapa waktu terakhir ini kasus perjudian sudah berkurang.

Karena itu, MPU mengapresiasi kehadiran negara lewat aparat penegak hukum yang tidak pernah berhenti melakukan penindakan hingga ke akar-akarnya, sehingga segala bentuk perjudian di Aceh, nantinya betul-betul hilang.

MPU juga menengarai, mulai berkurangnya kasus perjudian daring di masyarakat, selain karena gencarnya penindakan, juga karena efek jera dari hukuman cambuk yang disaksikan oleh masyarakat lain, sehingga membuat efek jera dan malu. Dengan malu itu, maka muncul kesadaran baru masyarakat untuk tidak mengulangi perjudian dan yang belum pernah bermain akan menghindari terlibat


Cegah warkop

Warung kopi (warkop) merupakan titik yang kerap dijadikan tempat bermain judi daring di Aceh. Dari banyaknya kasus, pemain judi daring di daerah itu, rata-rata diamankan oleh polisi dari tempat bersantai di warkop.

Berkaca dari itu dan budaya ngopi masyarakat Aceh, warung kopi menjadi sasaran penting bagi pemerintah untuk menyosialisasikan larangan atau fatwa haram judi daring, serta dampak yang dapat ditimbulkan.

Dimulai dari upaya pencegahan oleh Polresta Banda Aceh, mereka menyebarkan spanduk imbauan larangan bermain judi daring maupun luring ke warkop yang ada di Ibu Kota Provinsi Aceh.
Personel Satreskrim Polresta Banda Aceh saat memasang spanduk larangan bermain judi online di sejumlah warkop di wilayah hukum Banda Aceh, Rabu (26/6/2024) (ANTARA/HO/Humas Polresta Banda Aceh)

Kasatreskrim Polresta Banda Aceh, Kompol Fadillah Aditya Pratama menegaskan pemasangan spanduk larangan bermain judi itu untuk memberikan kesadaran kepada masyarakat yang berkunjung ke warung kopi agar tidak melakukan segala bentuk perjudian.

Selain itu, kepada pemilik warung kopi, juga diimbau agar tidak membiarkan tempat usahanya dijadikan lokasi berkumpulnya pemain judi.

Upaya kepolisian yang didukung MPU itu kemudian mendapatkan sambutan baik dari Forkopimda Banda Aceh. Selanjutnya, tim gabungan TNI/Polri hingga Satpol PP dan Wilayatul Hisbah (WH) atau polisi syariat rutin melakukan patroli judi, hingga kasus judi daring di ibu kota provinsi itu bisa dihilangkan.

Tidak hanya oleh pemerintah, upaya pencegahan juga disambut baik oleh para pelaku usaha warung kopi di Banda Aceh. Mereka ikut menyosialisasikan larangan judi daring kepada pelanggan.

Hingga hari ini, banyak warung kopi di Banda Aceh menolak aktivitas perjudian di tempat usaha mereka. Upaya pencegahan mereka disampaikan dengan menempelkan sendiri selembar kertas bertuliskan "Dilarang Bermain Judi Online", selain selebaran yang ditempel oleh polisi. Upaya bersama semua pihak di Banda Aceh ini membuat kita optimistis segala bentuk perjudian dapat diberantas.