Pelaku pariwisata di Bali tekankan pengurangan bahaya asap rokok
9 Oktober 2024 16:52 WIB
Pelaku pariwisata dan akademisi kesehatan menjadi pembicara dalam diskusi soal pengurangan bahaya tembakau yang digelar oleh Koalisi Indonesia Bebas Tar (Kabar) di Denpasar, Bali, Rabu (9/10/2024) ANTARA/Dewa Ketut Sudiarta Wiguna
Denpasar (ANTARA) - Pelaku pariwisata di Bali menekankan pentingnya pengurangan bahaya asap rokok termasuk produk alternatif untuk menjaga kenyamanan wisatawan dan melindungi perokok pasif.
“Dengan semakin banyaknya wisatawan, muncul berbagai karakter dan kebiasaan, termasuk perilaku merokok yang dapat menyebabkan polusi udara,” kata Direktur Eksekutif Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali Ida Bagus Purwa Sidemen di sela diskusi oleh Koalisi Indonesia Bebas Tar (KABAR) di Denpasar, Rabu.
Menurut dia, salah satu inovasi yang dapat diimplementasikan pelaku perhotelan di Bali yakni membangun area untuk menggunakan produk tembakau alternatif seperti rokok elektronik sehingga diharapkan dapat tetap ramah terhadap wisatawan.
Dalam diskusi dengan tema “Penerapan Pengurangan Bahaya Tembakau sebagai Strategi Komplementer Mengatasi Permasalahan Merokok dan Mendukung Pariwisata Bali”, Guru Besar Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran (Unpad) Prof Dr Amaliya mengungkapkan rokok konvensional dan rokok elektrik memiliki risiko yang berbeda.
Menurut dia, emisi rokok konvensional bertahan lama yakni membuat warna kuning apabila dilakukan di lokasi yang sama dalam waktu sekitar tiga bulan.
Baca juga: PHRI Bali estimasi belanja turis domestik Rp1,5 juta saat Lebaran
Baca juga: PHRI Bali: Libur Lebaran berpotensi dongkrak hunian hingga 80 persen
Ia menjelaskan rokok konvensional dengan cara disulut api itu menghasilkan residu atau particulate matter (pm) yang bertahan lima hingga tujuh jam dan memberi dampak terhadap ruangan, bagian tubuh dan pakaian perokok itu sendiri.
Sedangkan rokok elektrik (vape), kata dia, sistem operasinya dipanaskan kurang dari 200 derajat Celcius sehingga menghasilkan aerosol dan tidak mengandung tar (zat kimia dalam rokok) serta tidak menghasilkan pm sebesar yang ditimbulkan asap rokok.
“Jadi uap atau aerosol berbeda dengan asap rokok. Dengan tidak menghasilkan tar produk tembakau alternatif memiliki risiko kesehatan yang jauh lebih rendah,” katanya.
Untuk itu, ia mendorong adanya area untuk perokok konvensional dan rokok elektrik yang dipisahkan guna mendukung kebijakan saling menghargai dan melindungi masyarakat yang tidak merokok.
Sementara itu, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Pendidikan Nasional (Undiksha) Bali Prof Ida Bagus Raka Suardana menambahkan pengendalian asap rokok diharapkan mendukung kenyamanan wisatawan di tengah pemulihan pariwisata di Pulau Dewata.
“Dengan memastikan kenyamanan pengunjung, melalui protokol kesehatan, kebersihan, dan pengelolaan lingkungan yang baik, perekonomian Bali dapat tetap stabil,” katanya.
Baca juga: PHRI Bali sebut hotel berpotensi sesuaikan tarif jika PPN 12 persen
Baca juga: PHRI Bali tekankan pentingnya perlindungan data pribadi
“Dengan semakin banyaknya wisatawan, muncul berbagai karakter dan kebiasaan, termasuk perilaku merokok yang dapat menyebabkan polusi udara,” kata Direktur Eksekutif Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali Ida Bagus Purwa Sidemen di sela diskusi oleh Koalisi Indonesia Bebas Tar (KABAR) di Denpasar, Rabu.
Menurut dia, salah satu inovasi yang dapat diimplementasikan pelaku perhotelan di Bali yakni membangun area untuk menggunakan produk tembakau alternatif seperti rokok elektronik sehingga diharapkan dapat tetap ramah terhadap wisatawan.
Dalam diskusi dengan tema “Penerapan Pengurangan Bahaya Tembakau sebagai Strategi Komplementer Mengatasi Permasalahan Merokok dan Mendukung Pariwisata Bali”, Guru Besar Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran (Unpad) Prof Dr Amaliya mengungkapkan rokok konvensional dan rokok elektrik memiliki risiko yang berbeda.
Menurut dia, emisi rokok konvensional bertahan lama yakni membuat warna kuning apabila dilakukan di lokasi yang sama dalam waktu sekitar tiga bulan.
Baca juga: PHRI Bali estimasi belanja turis domestik Rp1,5 juta saat Lebaran
Baca juga: PHRI Bali: Libur Lebaran berpotensi dongkrak hunian hingga 80 persen
Ia menjelaskan rokok konvensional dengan cara disulut api itu menghasilkan residu atau particulate matter (pm) yang bertahan lima hingga tujuh jam dan memberi dampak terhadap ruangan, bagian tubuh dan pakaian perokok itu sendiri.
Sedangkan rokok elektrik (vape), kata dia, sistem operasinya dipanaskan kurang dari 200 derajat Celcius sehingga menghasilkan aerosol dan tidak mengandung tar (zat kimia dalam rokok) serta tidak menghasilkan pm sebesar yang ditimbulkan asap rokok.
“Jadi uap atau aerosol berbeda dengan asap rokok. Dengan tidak menghasilkan tar produk tembakau alternatif memiliki risiko kesehatan yang jauh lebih rendah,” katanya.
Untuk itu, ia mendorong adanya area untuk perokok konvensional dan rokok elektrik yang dipisahkan guna mendukung kebijakan saling menghargai dan melindungi masyarakat yang tidak merokok.
Sementara itu, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Pendidikan Nasional (Undiksha) Bali Prof Ida Bagus Raka Suardana menambahkan pengendalian asap rokok diharapkan mendukung kenyamanan wisatawan di tengah pemulihan pariwisata di Pulau Dewata.
“Dengan memastikan kenyamanan pengunjung, melalui protokol kesehatan, kebersihan, dan pengelolaan lingkungan yang baik, perekonomian Bali dapat tetap stabil,” katanya.
Baca juga: PHRI Bali sebut hotel berpotensi sesuaikan tarif jika PPN 12 persen
Baca juga: PHRI Bali tekankan pentingnya perlindungan data pribadi
Pewarta: Dewa Ketut Sudiarta Wiguna
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2024
Tags: