Batam (ANTARA) - Dewan Pimpinan Daerah Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia Kepulauan Riau (DPD HNSI Kepri) mengharapkan adanya upaya bersama untuk mencegah terjadinya penangkapan berulang terhadap nelayan yang mencari ikan di wilayah berbatasan karena melanggar batas negara, salah satunya dengan Malaysia.
"Karena ini sudah berulang terjadi, selama kurun waktu 6 bulan ini, sudah berkali-kali terjadi nelayan diamankan Polisi Marine Malaysia karena melanggar batas wilayah," kata Ketua DPD HNSI Kepri Distrawandi kepada ANTARA di Batam, Selasa.
Kasus nelayan ditangkap karena melanggar zona perbatasan saat menangkap ikan bukan sekali dua kali, tapi terbilang sering. Kamis (3/10), empat nelayan Pulau Jaloh, Kecamatan Bulang, Kota Batam, Kepulauan Riau, ditangkap Polisi Laut Singapura, namun setelah dilakukan pemeriksaan terbukti nelayan tradisional mereka dibebaskan, Jumat (4/10).
Selang beberapa waktu, diperoleh kabar tiga nelayan mencari ikan di perairan sekitar Tanjung Berakit, Kabupaten Bintan, ditangkap Polisi Laut Malaysia pada Kamis (3/10), karena diduga melewati batas perairan negara.
Saat ini, Konsulat Jenderal Republik Indonesia Johor Bahru, Malaysia, melakukan pendampingan terhadap tiga orang nelayan asal Kabupaten Bintan yang ditahan Polisi Laut Malaysia.
"Karena berulang-ulang ini, jadi dalam hal ini pemerintah harus cepat tanggap menangani persoalan ini," harap Distrawandi.
Dia justru mempertanyakan apa gerangan kenapa kasus nelayan ditangkap Polisi Laut Malaysia terus berulang, apakah hubungan maritim antara Indonesia dengan Malaysia baik-baik saja.
"Kami sebagai himpunan nelayan mendesak kepada pemerintah, ini hubungan di maritim ini pemerintah Indonesia dengan negara-negara tetangga (Malaysia) baik-baik saja atau tidak baik-baik saja," ujarnya dengan nada bertanya.
Menurut dia, ada banyak kemungkinan yang menyebabkan kasus nelayan ditangkap kembali berulang. Bisa jadi karena nelayan tidak tau titik batas negara, minim sosialisasi, atau area tangkapan ikan (fishing ground) yang sudah sempit, karena faktor penimbunan dan segala macam aktivitas lainnya.
Distrawandi juga pernah bertanya kepada nelayan, apakah mereka tidak jera berurusan dengan Polisi Laut Malaysia.
Baca juga: KJRI Johor dampingi tiga nelayan asal Bintan ditahan di Malaysia
Baca juga: Pemprov Kepri sebut perlu kerja sama dengan Malaysia untuk nelayan
Baca juga: Nelayan Natuna kembali ditangkap APM Malaysia
"Mereka menjawab, siapa sih ketua yang mau ditangkap, diapakan segala macam, tapi kami kan perkara perut dan kepala kami sejengkal ini, kami spekulasi kami tinggi, ini cerita cari nafkah," ungkapnya.
Agar tidak berulang, kata dia, mengingat yang menjadi korban adalah nelayan, masyarakat kecil yang menggantungkan hidupnya, perlu dicarikan solusi bersama agar nelayan tetap bisa mencari nafkah tanpa berurusan dengan hukum.
"Ini jadi ruang diskusi. Coba pemerintah bangun ruang diskusi ini, dicari pemerhati-pemerhati dipanggil segala narasumber duduk bersama-sama, ayo apa yang harus kita selesaikan, supaya persoalan ini tidak berlarut-larut terus," ujar Distrawandi.
Berdasarkan data dari Badan Pengelolaan Perbatasan Daerah (BPPD) Kepri kasus nelayan Kepri ditangkap oleh Agensi Penguatkuasa Maritim Malaysia (APMM) selama rentang waktu empat tahun terakhir, yakni dari 2020 sampai 2024 terjadi beberapa kali penangkapan.
Tahun 2020 sebanyak 2 kali kejadian, tahun 2021 sebanyak enam kejadian dengan 6 nelayan ditangkap, tahun 2022 sebanyak empat kejadian, dengan 4 nelayan, dan 2023 sebanyak 13 kejadian. Tahun 2024, terjadi 3 kejadian yakni bulan April, kemudian di Agustus.
Sebelumnya, Kepala BPPD Kepri Doli Boniara mengatakan salah satu solusi mencegah nelayan ditangkap Polisi Laut adalah lewat kerja sama.
"Solusi-nya adalah kerja sama bidang perikanan antara Malaysia dan Indonesia," kata Doli, Kamis (29/8).
HNSI Kepri harapkan upaya bersama cegah penangkapan nelayan perbatasan
8 Oktober 2024 22:58 WIB
Arsip-Dua kapal nelayan sedang menangkap ikan di Perairan Kota Batam, Kepulauan Riau, Selasa (8/10/2024). ANTARA/Laily Rahmawaty
Pewarta: Laily Rahmawaty
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2024
Tags: