Jakarta (ANTARA) - Psikolog Livia Iskandar mengingatkan pelajar agar segera mencari bantuan apabila mengalami kekerasan di sekolah, salah satunya dengan melapor ke Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) yang telah disediakan di sekolah.

“Sekarang ada TPPK di setiap sekolah. Ada guru, perwakilan dari komite sekolah. Kalau kita merasa mendapatkan bully yang membuat kita cemas, tidak bisa tidur, kita merasa dilecehkan, bahkan oleh teman kita sendiri, apalagi oleh guru. Kita punya tempat untuk melapor ke sini,” kata Livia yang juga Co-founder sekaligus Plt Direktur Eksekutif Yayasan Pulih gelar wicara “Berteman Tanpa Kekerasan” secara daring di Jakarta, Selasa.

Keberadaan TPPK di lingkungan sekolah merupakan implementasi dari Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.

Baca juga: FSGI serukan program pencegahan kekerasan di sekolah dilanjutkan

Berdasarkan Permendikbudristek tersebut, terdapat beberapa bentuk kekerasan yang dapat terjadi di sekolah antara lain kekerasan fisik, kekerasan psikis, perundungan (bullying), kekerasan seksual, diskriminasi dan intoleransi, kebijakan yang mengandung kekerasan, dan bentuk kekerasan lainnya.

Livia mengatakan pertemanan di lingkungan sekolah memang membawa dampak positif bagi siswa, seperti dapat memberikan dukungan emosional dan dukungan dalam pengambilan keputusan, meningkatkan rasa kebersamaan dan mengurangi kesepian, hingga mengajarkan empati dan keterampilan sosial.

Dampak positif ini bisa didapatkan siswa apabila menjalin pertemanan dalam lingkungan yang produktif. Namun sebaliknya, dampak tersebut justru tidak bisa dirasakan apabila seorang siswa terjebak di dalam pertemanan yang beracun (toxic).

Baca juga: Kemensos galakkan kampanye anti perundungan dan kekerasan ke sekolah

Livia pun mengingatkan pentingnya siswa untuk mengenali dan memahami ciri-ciri pertemanan toxic, antara lain munculnya perasaan sangat tidak aman dan nyaman.

Di sisi lain, imbuh Livia, orang tua juga penting untuk membuka ruang dialog bersama anak dan memastikan apakah ada perubahan pada anak tersebut. Siswa yang terjebak pada lingkungan pertemanan toxic dapat mengalami dampak psikologis mulai dari masalah mental, seperti stres, gangguan kecemasan, depresi, dan seterusnya.

Selain itu, korban juga bisa mengalami gangguan tidur, perubahan pola makan, penurunan prestasi, sulit percaya pada orang lain, tidak percaya diri, bahkan yang paling parah munculnya pemikiran untuk melukai diri sendiri dan bunuh diri.

“Kita memang harus memahami diri kita sendiri. Kalau toxic friendship benar-benar tidak membuat kita nyaman, tidak bisa tidur, kita jadi tidak ingin sekolah, berarti itu kan merugikan kita. Jangan sampai sesuatu yang kemudian merugikan, kita biarkan berlarut-larut. Kita harus melakukan sesuatu supaya kita bisa keluar dari itu,” kata Livia.

Baca juga: Tidak ada kekerasan yang dapat ditolerir termasuk kekerasan psikis