Potensi lahan sawit untuk tanaman pangan 1 Juta ha/tahun
8 Oktober 2024 16:25 WIB
Panen perdana di Afdeling II Kebun Sei Siasam PTPN IV Regional III, Provinsi Riau. Hamparan sawit muda di lahan seluas 362,75 hektare tersebut tumbuh subur dengan mengedepankan best practice hingga mampu menghasilkan produktivitas di atas rata-rata nasional. (ANTARA/HO-PalmCo Regional 3) (Sawit, panen, Riau,)
Jakarta (ANTARA) - Perkebunan kelapa sawit dinilai memiliki potensi lahan untuk pengembangan tanaman pangan hingga seluas 1 hingga 1,5 juta hektar/ha per tahun
Ketua Umum Rumah Sawit Indonesia (RSI) Kacuk Sumarto menyatakan perkebunan kelapa sawit berkontribusi pada dua hal, yakni hasil komoditinya berupa minyak sawit, selain itu sumber daya lahan yang bisa ditanami dengan tanaman lain non sawit atau untuk pangan maupun energi terbarukan.
"Indonesia saat ini dan ke depan memiliki tantangan besar pada kemandirian pangan dan energi. Perkebunan kelapa sawit bisa menjawab tantangan tersebut tanpa harus membuka lahan baru," katanya di Jakarta, Selasa.
Setiap tahun, tambahnya, ada potensi lahan sekitar 1 juta ha areal berasal dari siklus peremajaan (replanting) tanaman kelapa sawit bisa digunakan untuk tanaman non sawit atau tanaman yang bisa menghasilkan pangan maupun energi terbarukan.
Perhitungannya, total kebun sawit di Indonesia saat ini sebagaimana dilansir Badan Pusat Statistik (BPS) seluas 16,2 juta ha. Sementara siklus peremajaan sawit 25 tahun. Sedangkan program peremajaan setiap tahun ada sekitar 648.000 ha.
Baca juga: Guru Besar IPB: Hilirisasi kunci masa depan sawit nasional
Potensi lahan tersedia untuk tanaman sela tiap tahun jika diberakan ada 240 persen dari 648.000 ha atau sekitar 1,5 juta ha, sementara jika tidak diberakan ada 140 persen atau sekitar 1 juta ha.
Adapun potensi produksi per tahun dari lahan tersebut jika ditanami sorgum mencapai 8 juta ton (tidak diberakan), sedangkan apabila lahan tersebut diberakan bisa mencapai 12 juta ton.
Jika lahan tersebut ditanami singkong berpotensi mendapatkan hasil sekitar 45 juta ton per tahun (tidak diberakan), tapi apabila lahan tersebut diberakan bisa mencapai 70 juta ton.
Apabila ditanami kedelai varietas Grobogan jika tidak diberakan mencapai 2,9 juta ton, sedangkan apabila diberakan berpotensi mendapatkan hasil 4,5 juta ton per tahun.
Kalau ditanami jagung bisa mendapatkan 8 juta ton (jika tidak diberakan), sementara jika diberakan bisa mencapai 12,4 juta ton per tahun.
Kacuk menambahkan, tanaman sela sorgum, jagung, singkong dan kedelai tersebut sudah dipraktekkan di lahan perkebunan sawit milik PT Paya Pinang Group di Sumatera Utara.
Menurut dia, problem utama dari konsep optimalisasi lahan perkebunan sawit pada saat replanting ini adalah persoalan off taker atau siapa yang akan membeli dari hasil panen tanaman sela tersebut.
Oleh karena itu, lanjutnya, di sini perlu peran pemerintah untuk menugaskan Perum Bulog untuk menyerap hasil panen dari tanaman sela tersebut.
Namun jika tidak ada pihak yang bersedia menjadi off taker, ia menyarankan agar hasil panen tersebut dikonsumsi untuk masyarakat sekitar kebun saja.
Dengan konsep tersebut menurut dia masyarakat sekitar kebun akan terjamin ketahanan dan kemandirian pangannya. Selain itu mereka akan mendapatkan harga yang terjangkau karena biaya logistiknya dan masyarakat sekitar juga ada kegiatan ekonominya.
Menurut dia, dengan demikian konsep tersebut memiliki dampak ganda yang tinggi seperti di pedesaan akan menimbulkan ketahanan ekonomi.
"Dengan mengoptimalkan sumber daya lahan perkebunan sawit ini untuk mencapai kemandirian pangan sehingga tidak perlu membuka lahan baru lagi," katanya.
Ketua Umum Rumah Sawit Indonesia (RSI) Kacuk Sumarto menyatakan perkebunan kelapa sawit berkontribusi pada dua hal, yakni hasil komoditinya berupa minyak sawit, selain itu sumber daya lahan yang bisa ditanami dengan tanaman lain non sawit atau untuk pangan maupun energi terbarukan.
"Indonesia saat ini dan ke depan memiliki tantangan besar pada kemandirian pangan dan energi. Perkebunan kelapa sawit bisa menjawab tantangan tersebut tanpa harus membuka lahan baru," katanya di Jakarta, Selasa.
Setiap tahun, tambahnya, ada potensi lahan sekitar 1 juta ha areal berasal dari siklus peremajaan (replanting) tanaman kelapa sawit bisa digunakan untuk tanaman non sawit atau tanaman yang bisa menghasilkan pangan maupun energi terbarukan.
Perhitungannya, total kebun sawit di Indonesia saat ini sebagaimana dilansir Badan Pusat Statistik (BPS) seluas 16,2 juta ha. Sementara siklus peremajaan sawit 25 tahun. Sedangkan program peremajaan setiap tahun ada sekitar 648.000 ha.
Baca juga: Guru Besar IPB: Hilirisasi kunci masa depan sawit nasional
Potensi lahan tersedia untuk tanaman sela tiap tahun jika diberakan ada 240 persen dari 648.000 ha atau sekitar 1,5 juta ha, sementara jika tidak diberakan ada 140 persen atau sekitar 1 juta ha.
Adapun potensi produksi per tahun dari lahan tersebut jika ditanami sorgum mencapai 8 juta ton (tidak diberakan), sedangkan apabila lahan tersebut diberakan bisa mencapai 12 juta ton.
Jika lahan tersebut ditanami singkong berpotensi mendapatkan hasil sekitar 45 juta ton per tahun (tidak diberakan), tapi apabila lahan tersebut diberakan bisa mencapai 70 juta ton.
Apabila ditanami kedelai varietas Grobogan jika tidak diberakan mencapai 2,9 juta ton, sedangkan apabila diberakan berpotensi mendapatkan hasil 4,5 juta ton per tahun.
Kalau ditanami jagung bisa mendapatkan 8 juta ton (jika tidak diberakan), sementara jika diberakan bisa mencapai 12,4 juta ton per tahun.
Kacuk menambahkan, tanaman sela sorgum, jagung, singkong dan kedelai tersebut sudah dipraktekkan di lahan perkebunan sawit milik PT Paya Pinang Group di Sumatera Utara.
Menurut dia, problem utama dari konsep optimalisasi lahan perkebunan sawit pada saat replanting ini adalah persoalan off taker atau siapa yang akan membeli dari hasil panen tanaman sela tersebut.
Oleh karena itu, lanjutnya, di sini perlu peran pemerintah untuk menugaskan Perum Bulog untuk menyerap hasil panen dari tanaman sela tersebut.
Namun jika tidak ada pihak yang bersedia menjadi off taker, ia menyarankan agar hasil panen tersebut dikonsumsi untuk masyarakat sekitar kebun saja.
Dengan konsep tersebut menurut dia masyarakat sekitar kebun akan terjamin ketahanan dan kemandirian pangannya. Selain itu mereka akan mendapatkan harga yang terjangkau karena biaya logistiknya dan masyarakat sekitar juga ada kegiatan ekonominya.
Menurut dia, dengan demikian konsep tersebut memiliki dampak ganda yang tinggi seperti di pedesaan akan menimbulkan ketahanan ekonomi.
"Dengan mengoptimalkan sumber daya lahan perkebunan sawit ini untuk mencapai kemandirian pangan sehingga tidak perlu membuka lahan baru lagi," katanya.
Pewarta: Subagyo
Editor: Adi Lazuardi
Copyright © ANTARA 2024
Tags: