Jakarta (ANTARA) - Asosiasi Ritel Vape Indonesia (Arvindo) mengkhawatirkan kebijakan kemasan polos tanpa merek akan mendorong pertumbuhan produk-produk rokok elektronik ilegal di pasaran.

Kondisi tersebut akan menekan penjualan produk-produk legal milik industri rokok elektronik.

Dengan mayoritas pelaku usaha tergolong usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), industri rokok elektrik dalam negeri tidak akan mampu bertahan jika kebijakan kemasan polos tanpa merek tersebut diimplementasikan.

"Pada akhirnya, produk-produk ilegal yang diuntungkan karena tidak membayar cukai. Apalagi mereka yang menjual produk ilegal secara online tidak peduli nasib industri dan tidak melakukan verifikasi terhadap pembeli apakah sudah berusia 21 tahun atau belum. Hal ini akhirnya menjadi permasalahan baru," kata Sekretaris Jenderal Arvindo Rifqi Habibie Putra melalui keterangan yang diterima di Jakarta, Senin.

Diketahui, aturan itu tertuang dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik yang merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan.

Padahal, lanjut Rifqi, produk-produk ilegal masih menjamur dan belum tertangani dengan baik oleh pemerintah. Dengan kondisi tersebut dan ditambah kebijakan kemasan polos tanpa merek, maka semakin memperbesar peluang migrasi pengguna rokok elektronik ke produk ilegal.

Baca juga: GAPPRI: Kemasan polos berdampak negatif bagi industri rokok nasional

Baca juga: Asosiasi nilai kemasan polos bisa lemahkan industri rokok elektronik


"Efek jangka panjangnya adalah banyak toko yang bisa jadi tutup. Sebagai pelaku usaha yang taat aturan, kami tidak mau jualan produk-produk ilegal non-cukai. Pendapatan negara ujung-ujungnya jadi berkurang karena pengguna yang biasanya beli liquid dengan adanya pita cukai dan resmi, akhirnya mereka beralih ke black market," ucap Rifqi.

Berdasarkan hasil studi Institute for Development of Economics and Finance (Indef), penerapan PP 28/2024 dan RPMK tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik yang mencakup aturan kemasan polos tanpa merek, jarak larangan penjualan, dan pembatasan Iklan, akan berdampak negatif pada kinerja industri, penerimaan negara, dan tenaga kerja.

Ekonom Senior Indef Tauhid Ahmad mengatakan jika ketiga skenario itu diterapkan secara bersamaan, maka dampak ekonomi yang hilang diperkirakan mencapai Rp308 triliun atau setara dengan 1,5 persen dari produk domestik bruto (PDB).

Pertama, penerapan kemasan polos rokok yang menyebabkan downtrading sehingga memicu peralihan ke rokok ilegal lebih cepat. Kondisi itu bisa menurunkan permintaan produk rokok legal yang berpotensi kerugian sebesar Rp182,2 triliun.

Kemudian kedua, penerapan larangan berjualan rokok di sekitar fasilitas pendidikan yang akan berdampak kepada 33 persen pelaku ritel sehingga potensi kerugian yang dihitung sebesar Rp84 triliun.

Ketiga, pembatasan iklan rokok yang bisa menurunkan permintaan jasa periklanan. Kondisi ini berpotensi menyumbang kerugian sebesar Rp41,8 triliun.

Selain itu, dari sisi penerimaan negara, pemerintah berisiko kehilangan pendapatan pajak Rp160,6 triliun atau sekitar 7 persen dari total penerimaan perpajakan nasional.

Rinciannya yakni, pertama, Rp95,6 triliun akibat penerapan kebijakan kemasan polos. Kedua, Rp43,5 triliun dari penerapan larangan berjualan di sekitar lingkungan pendidikan. Ketiga, Rp21,5 triliun dari pembatasan iklan rokok.

Dengan demikian, menurut Tauhid, kondisi itu bisa mempengaruhi capaian pertumbuhan ekonomi sebesar lebih dari 5 persen seperti yang sudah ditargetkan pemerintah.

"Berat kalau misalnya secara agregat kita ingin tumbuh di atas 5 persen, tetapi kita sudah berkurang totalnya hampir Rp308 triliun," ucapnya.

Tauhid kembali menyinggung soal kerugian pajak sebesar 7 persen yang disebutnya bukan angka kecil. Terlebih jika dibandingkan dengan rasio pajak (tax ratio) Indonesia sebesar 10-11 persen.

Dengan demikian, kebijakan kemasan polos tanpa merek yang tengah didorong Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk diimplementasikan bagi rokok elektronik dan produk tembakau seperti rokok ini akan berdampak sangat besar bagi seluruh aspek industri rokok elektronik, yang secara kolektif telah menyerap tenaga kerja dari sisi produksi hingga ritel.

Baca juga: Pengamat: Aturan kemasan rokok polos dorong peran industri kreatif

Baca juga: Dirjen Bea dan Cukai nilai rokok polos berpotensi sulitkan pengawasan