Jakarta (ANTARA) - Hilirisasi merupakan salah satu program prioritas yang dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam dua periode masa kepemimpinannya pada 2014-2019 dan 2019-2024. Kebijakan ini baru secara resmi diluncurkan pada 2020, setelah sekian lama Indonesia hanya menjual bahan mentah. Indonesia sudah harus berhenti menjadi “tukang gali” dengan menyetop ekspor bahan mentah dan mulai menggencarkan hilirisasi.

Dengan kebijakan ini pelaku industri domestik dilarang menjual langsung bahan mentah ke pasar global. Alasannya, apabila bahan mentah tersebut diolah menjadi produk turunan, dapat memberikan nilai tambah tinggi bagi ekonomi (Economic Value Added/EVA).

Hilirisasi menekankan pelarangan ekspor bahan mentah di sektor yang memiliki cadangan dan potensi besar untuk dikembangkan. Berdasarkan Peta Jalan Hilirisasi Investasi Strategis Indonesia Tahun 2023 – 2035, ada 21 komoditas yang menjadi fokus utama dalam upaya hilirisasi, meliputi batu bara, nikel, timah, tembaga, bauksit, baja, perak, aspal buton, minyak bumi, gas alam, sawit, kelapa, karet, biofuel, kayu, getah pinus, udang, ikan, kepiting, rumput laut, dan garam.

Bukan tanpa alasan jika Jokowi bersikeras untuk menyetop ekspor bahan mentah dan menjual lebih banyak produk bernilai tambah. Kekayaan sumber daya alam Indonesia sungguh melimpah. Harta karun yang ada di perut Bumi Pertiwi seperti nikel, bauksit, batu bara, emas, tembaga, serta minyak bumi dan gas, menempatkan Indonesia dalam deretan produsen utama dunia.

Nikel misalnya, cadangan yang dimiliki Indonesia mencapai 72 juta ton atau 52 persen dari total cadangan nikel dunia. Bauksit, dengan total potensi eksplorasi sebanyak 1.200 juta ton, cadangan bauksit kita nomor 6 terbesar di dunia. Selanjutnya kandungan batubara sebesar 134,24 miliar ton yang mampu memenuhi kebutuhan domestik hingga 500 tahun ke depan, dengan asumsi penggunaan 250 juta ton per tahun.

Itu baru kekayaan yang ada di perut bumi. Masih ada kekayaan yang ada di permukaan bumi termasuk berbagai produk perkebunan dan kehutanan serta produk perikanan.

Untuk kelapa sawit, Indonesia bahkan mengukuhkan diri sebagai negara penghasil sawit terbesar di dunia dengan produksi mencapai 45-46 juta metrik ton.

Sebetulnya, hilirisasi sudah dicanangkan sejak awal pemerintahan Jokowi. Namun menyadari bahwa transisi penerapannya memerlukan waktu, secara resmi hilirisasi, khususnya di sektor mineral, baru menjadi sebuah beleid pada awal tahun 2020.

Dengan penerapan kebijakan ini, diharapkan Indonesia bisa mengakselerasi pemajuan ekonomi melalui peningkatan nilai tambah, penciptaan investasi yang merata, dan tumbuhnya lapangan pekerjaan. Selain itu, hilirisasi juga dinilai menjadi jalan pintas untuk mewujudkan visi Indonesia Emas 2045, mengingat proyeksi dampak berkelanjutan (multiplier effect) dari kebijakan tersebut sangat besar.
Memacu ekonomi

Sebelum ditekennya aturan pelarangan ekspor bahan mentah, dan diwajibkannya hilirisasi, Indonesia berada dalam fase 'nyaman', karena perdagangan produk mentah sektor mineral, dan perkebunan banyak dibutuhkan oleh pasar global sebagai bahan baku, serta minim sengketa.

Jalan penerapan hilirisasi di Indonesia tak serta-merta mulus. Pada awal beleid larangan ekspor bahan mentah mineral diterapkan, Indonesia langsung bersengketa di Badan Perdagangan Dunia (WTO), karena mendapat gugatan dari Uni Eropa soal penutupan ekspor bijih nikel.

Gugatan itu tidak membuat langkah Pemerintah surut. Indonesia hingga saat ini tetap konsisten menjalankan program hilirisasi karena tidak mau kehilangan potensi keuntungan hingga berkali-kali lipat per tahun dari ekspor produk jadi atau setengah jadi.

Bayangkan saja, dalam setiap fase mineral yang diolah, harga jualnya bisa dinaikkan mulai dari 11 hingga 67 kali lipat lebih tinggi.

Pemerintah mencatat pada tahun 2013 nilai ekspor nikel Indonesia hanya sebesar 5,4 miliar dolar AS, namun setelah penerapan hilirisasi, dalam satu dekade kemudian pada tahun 2023, ekspor nikel melalui penjualan produk turunannya seperti nikel sulfat, prekursor, katoda, dan sel baterai kendaraan listrik, memberikan keuntungan bagi devisa sebesar 33,5 miliar dolar AS.

Artinya proses pengolahan bahan baku dari hulu menjadi produk hilir, memberikan keuntungan hingga 600 persen dalam kurun waktu 10 tahun terakhir.

Hal serupa juga terjadi di subsektor pengolahan mineral lainnya, seperti bauksit yang pada tahun 2014 memiliki nilai ekspor sebesar 47,74 juta dolar AS, namun setelah resmi menutup keran ekspor pada tahun 2023, Indonesia malah mendapat keuntungan lebih besar yakni sebesar 1,5 miliar dolar AS yang diperoleh melalui proses peleburan bahan mineral (smelting) di dalam negeri.

Hilirisasi sektor batu bara di masa pemerintahan Presiden Jokowi turut berhasil melakukan diversifikasi menjadi briket batu bara yang mengantongi investasi hingga 200 juta dolar AS. Selain itu, terciptanya proses peningkatan mutu batu bara (coal upgrading), serta gasifikasi batu bara yang diolah menjadi dimetil eter (DME), sehingga membantu substitusi impor LPG hingga Rp80 triliun.

Di sektor kelapa sawit, kebijakan ini berhasil meningkatkan proses pemurnian minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) menjadi produk hilir yang memiliki nilai tinggi (refinery). Disamping itu terdapat lonjakan jumlah diversifikasi produk olahan sawit yang sebelumnya hanya 54 jenis, menjadi 179 jenis hingga awal tahun 2024.

Pada 2015, komposisi ekspor minyak sawit meliputi 18 persen CPO dan 6 persen crude palm kernel oil (CPKO), keduanya merupakan bahan baku industri. Sekitar 61 persen sisanya merupakan produk refinery dan 15 persen lagi berupa produk lainnya.
Ilustrasi - Pekerja menimbang tandan buah segar (TBS) kelapa sawit usai dipanen di Tebo Ilir, Tebo, Jambi. ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan/foc/aa.

Gencarnya kebijakan hilirisasi membuat komposisi ekspor ini berubah. Pada 2022, ekspor bahan baku turun menjadi 2 persen untuk CPO dan 4 persen CPKO. Sedangkan ekspor produk hilir mengalami peningkatan signifikan, yaitu 73 persen produk refinery dan 21 persen produk lain.

Dari sisi investasi, hadirnya kebijakan hilirisasi menciptakan ekosistem penanaman modal yang merata di seluruh Tanah Air.

Perbedaan cukup signifikan dapat dilihat dari jumlah fasilitas peleburan bijih mineral menjadi logam murni (smelter) yang meningkat pesat, dari hanya 31 unit pada tahun 2014 menjadi 116 unit pada 2023, termasuk yang hendak dibangun. Jumlah tersebut terdiri atas 96 fasilitas peleburan mineral dengan kadar pirometalurgi tinggi (saprolite), dan 16 proses hidrometalurgi kadar mineral rendah (limonite).

Awalnya fasilitas smelter hanya terfokus di Sulawesi dan Maluku saja, namun dengan kebijakan hilirisasi di sektor mineral, pembangunan fasilitas peleburan mineral meningkat hingga 274 persen dan meluas ke berbagai daerah seperti Kalimantan, Banten, dan Jawa.

Di sektor kelapa sawit, terdapat peningkatan luas perkebunan sebesar 56 persen selama satu dekade terakhir menjadi 16,8 juta hektare, dengan total ekspor minyak sawit sebesar 301,436 juta ton.

Hilirisasi petrokimia juga menjadi sasaran pemerintah melalui sejumlah pembangunan pabrik petrokimia skala besar, salah satunya pabrik Lotte Chemical di Cilegon, Banten yang menghasilkan 17 produk olahan kimia, seperti ethylene, polypropylene, dan benzene yang digunakan untuk substitusi impor dan peningkatan kapasitas ekspor sektor tersebut.

Seperti efek domino, berkah yang dibawa dari hilirisasi turut berkontribusi dalam penyerapan tenaga kerja di Tanah Air, dengan rata-rata lapangan pekerjaan yang muncul untuk 1.285 tenaga kerja dari setiap Rp1 triliun investasi yang masuk.

Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menyebut, apabila dihitung berdasarkan periode Januari-Juni 2024 (semester I), Indonesia mengantongi investasi hilirisasi sebesar Rp181,4 triliun, sehingga serapan tenaga kerja di periode tersebut mencapai 233,099 orang.
Sejumlah pekerja beraktivitas di dalam kawasan smelter tembaga milik PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT) yang berlokasi di Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat, Senin (23/9/2024). (ANTARA/Sugiharto Purnama)

Proyeksi

Hilirisasi tentunya bukan kebijakan yang hanya membawa manfaat pada satu dekade terakhir. Kebijakan ini bakal menjadi tulang punggung industrialisasi sektor pengolahan (manufaktur) dalam negeri yang digadang-gadang sebelum tahun 2045 bisa berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi RI di atas 25 persen.
Dalam peta jalan (roadmap) hilirisasi yang telah dibuat pemerintah, program ini mendatangkan berkah multiplier effect hingga 2040 berupa realisasi investasi mencapai 618 miliar dolar AS, yang terdiri atas 498,4 miliar dolar AS investasi di sektor mineral, 68,3 miliar dolar AS di sektor migas, dan 51,3 miliar dolar AS di sektor perkebunan.

Selanjutnya dalam peta jalan tersebut juga, kontribusi ekspor dari 28 komoditas yang sudah ditetapkan untuk hilirisasi akan menyumbang sebesar 857,9 miliar dolar AS, dengan rasio terhadap PDB sebanyak 235,9 miliar dolar AS.

Sedangkan untuk serapan tenaga kerja, kebijakan hilirisasi bakal menggaet sebanyak 3.016.179 orang, sehingga apabila dihitung dengan rasio pengangguran pada awal 2024 yang mencapai 7,2 juta orang, kebijakan ini akan mengakomodasi hampir setengahnya.

Oleh karena itu untuk meningkatkan dan menjaga kontribusi warisan kebijakan yang diterapkan oleh Presiden Jokowi ini, pemerintahan selanjutnya diminta konsisten untuk mengimplementasikan program hilirisasi. Sehingga harapan pertumbuhan ekonomi di atas 7 persen, pendapatan per kapita lebih dari 25.000 dolar AS, serta visi Indonesia Emas 2045 bisa terwujud.

Tidak salah jika dikatakan bahwa hilirisasi adalah kunci untuk mengubah potensi menjadi prestasi.

Baca juga: Kemenperin sebut produk hilirisasi sawit mencapai 200 jenis
Baca juga: Hilirisasi tembaga dongkrak ekonomi di NTB
Baca juga: Perusahaan Indonesia dan China jalin kerja sama hilirisasi tembaga



Artikel ini merupakan bagian dari Antara Interaktif Vol. 85 Jokowinomics. Selengkapnya bisa dibaca di sini