Jakarta (ANTARA) - Direktur Jenderal (Dirjen) Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Hilmar Farid menyebut pentingnya pola pikir archipelagic atau menyeimbangkan kepentingan antara kepulauan dan lautan untuk memajukan Indonesia.

“Kalau berpikir archipelagic, artinya punya kekhasan karena kita bicara tentang benua dan maritim. Lawan dari archipelagic thinking adalah pemikiran kontinental, yang melihat segala sesuatunya seperti benua, itu merupakan warisan kolonial,” kata Hilmar dalam kuliah umum di Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, yang diikuti secara daring di Jakarta, Senin.

Ia menyampaikan pentingnya reimajinasi atau membayangkan ulang arti Indonesia yang selama ini masih terjebak dalam pemikiran kontinental, menjadi pemikiran yang lebih luas untuk memajukan kebudayaan dari segi kepulauan maupun lautan.

“Orang kadang-kadang menerjemahkan archipelago sebagai kepulauan, padahal kalau kita bahas etimologi dari archipelago, itu paduan dari ‘archi’ yang artinya utama, dan ‘pelagos’ yang artinya laut, enggak ada pulau yang disebut di situ,” ucapnya.

Ia menjelaskan, pemikiran kontinental merupakan warisan kolonial dari Eropa yang sebagian besar batas wilayahnya memang benua, sehingga imajinasi geografis masyarakat ketika membayangkan tentang Indonesia masih sebatas pada himpunan pulau-pulaunya, bukan laut.

“Bahkan bagi kita, sebagian besar kalau membahas batas laut Indonesia itu kita enggak tahu, jadi enggak ada di dalam imajinasi kita. Kalau mau reimajinasi Indonesia di abad 21 ini dan hidup lebih baik, mungkin sudah waktunya kita mempertimbangkan batas laut itu, dan tidak melihat laut sebagai penghalang yang membatasi antara daratan satu dengan daratan yang lain,” paparnya.

Ia mencontohkan Papua Barat yang memiliki wilayah Kaimana, rumah bagi hutan mangrove terbesar di Indonesia, yang dapat menjadi kekuatan dan salah satu contoh pemikiran archipelagic yang bisa dioptimalkan.

“20 persen dari mangrove dunia ada di Indonesia, dan Kaimana adalah kabupaten dengan mangrove terbesar. Pendapatan asli daerah Kabupaten Kaimana di 2024 itu Rp27 miliar, dia punya sekitar 500 ribu hektar mangrove,” tuturnya.

Berdasarkan studi bank dunia, lanjut Hilmar, apabila mangrove dikelola secara lestari, mulai dari mengambil manfaat kayu, dan perdagangan karbon diaktifkan dengan baik, maka hasil yang bisa diperoleh dari 1 hektar mangrove adalah 15 ribu dolar AS.

Ia juga mengemukakan, pemikiran kontinental selama ini membatasi masyarakat pada perekonomian kolonial, yang sejak zaman Kolonial memusatkan Jawa sebagai pemberi keuntungan utama karena banyak perkebunan.

“Bahkan di masa itu ada istilah kalau Jawa ini menjadi gabus tempat Hindia-Belanda mengapung, itu adalah perspektif kontinental, warisan kolonial yang sampai hari ini belum kita selesaikan,” ucap Hilmar.

Untuk itu, ia menekankan pentingya reimajinasi Indonesia dalam pola pikir archipelagic secara konsisten dan terus menerus berdasarkan riset, teknologi, dan lain sebagainya, sehingga bisa pelan-pelan mengubah cara masyarakat selama ini dalam mengelola Indonesia.

Baca juga: Dirjen Kebudayaan soroti potensi biocultural diversity di Indonesia
Baca juga: Dirjen Kebudayaan: Investasi budaya penting, tingkatkan nilai ekonomi