Pengamat nilai avtur bukan penyebab harga tiket pesawat mahal
7 Oktober 2024 14:43 WIB
Maskapai Citilink menggunakan produk bahan bakar avtur ramah lingkungan, Sustainable Aviation Fuel (SAF), yang dipasok PT Pertamina Patra Niaga. ANTARA/HO-PT Pertamina Patra Niaga. ANTARA/HO-PT Pertamina Patra Niaga.
Jakarta (ANTARA) - Pengamat energi Komaidi Notonegoro menilai komponen bahan bakar avtur bukan menjadi penyebab mahalnya harga tiket pesawat di Indonesia.
"Harga tiket pesawat yang dibayar konsumen, ditentukan oleh 16 komponen dan avtur hanya satu dari 16 komponen tersebut, sehingga tidak tepat menyimpulkan tingginya harga tiket pesawat untuk penerbangan domestik akibat mahalnya harga avtur," kata Komaidi dalam keterangannya di Jakarta, Senin.
Menurut Direktur Eksekutif ReforMiner Institute itu, berdasarkan ketentuan Permenhub Nomor 20 Tahun 2019, komponen tarif atau harga tiket pesawat yang harus dibayar oleh konsumen meliputi tarif jarak, pajak, iuran wajib asuransi, dan biaya tuslah/tambahan (surcharge).
Tarif jarak yang harus dibayar konsumen terdiri atas biaya langsung dan biaya tidak langsung.
Biaya langsung meliputi biaya operasi langsung tetap dan biaya operasi langsung variabel. Biaya operasi langsung tetap sesuai Permenhub 20/2019 adalah meliputi biaya penyusutan atau sewa pesawat, biaya asuransi, biaya gaji tetap kru, biaya gaji tetap teknisi, serta biaya kru dan teknisi training.
Sementara, biaya operasi langsung variabel meliputi biaya pelumas, biaya bahan bakar minyak (avtur), biaya tunjangan kru, biaya overhaul atau pemeliharaan, biaya jasa kebandarudaraan, biaya jasa navigasi penerbangan, biaya jasa ground handling penerbangan, dan biaya katering penerbangan.
"Berdasarkan ketentuan Permenhub 20/2019 itu, dalam harga tiket pesawat yang dibayar oleh konsumen adalah untuk membayar sekitar 16 komponen biaya maskapai termasuk pajak, asuransi, dan surcharge. Karena itu, peningkatan harga tiket pesawat tidak hanya terkait dengan harga avtur, tetapi juga ditentukan oleh 15 komponen biaya yang lainnya," jelas pengajar Program Magister Ilmu Ekonomi Universitas Trisakti.
Komaidi melanjutkan berdasarkan hasil studi, rata-rata porsi biaya avtur dalam komponen harga tiket pesawat antara 20–40 persen.
Studi tersebut menggambarkan bahwa terdapat sekitar 60-80 persen komponen biaya penerbangan yang lain di luar biaya avtur.
"Karena itu, upaya menurunkan harga tiket pesawat hanya dengan berfokus pada harga avtur, dapat menghasilkan kebijakan yang tidak proporsional," tambahnya.
Porsi biaya avtur terhadap total biaya penerbangan sejumlah maskapai seperti Garuda Indonesia, Thai Airlines, Singapore Airlines, Qatar Airways, dan Emirates pada 2019 masing-masing dilaporkan sebesar 27, 27, 29, 36, dan 32 persen.
Pada 2023, porsi biaya avtur dalam komposisi biaya penerbangan kelima maskapai tersebut dilaporkan meningkat menjadi masing-masing 36, 39, 31, 41, dan 36 persen.
Peningkatan tersebut salah satunya karena rata-rata harga minyak dunia pada periode tersebut mengalami peningkatan sekitar 30 persen.
Harga minyak jenis Brent tercatat meningkat dari 64,30 dolar AS per barel pada 2019 menjadi 82,49 dolar AS per barel pada 2023.
Sementara, harga minyak jenis WTI meningkat dari 56,99 dolar per barel AS pada 2019 menjadi 77,58 dolar AS per barel pada 2023.
Komaidi pun berharap pengambil kebijakan sebaiknya bersinergi dan duduk bersama untuk mencari solusi atas permasalahan yang ada.
"Semoga para stakeholder pengambil kebijakan lebih bijaksana, tidak saling menyalahkan, tetapi lebih mengutamakan duduk bersama untuk menyelesaikan permasalahan yang ada," sebutnya.
Baca juga: Pasar avtur di Indonesia dinilai tidak dimonopoliBaca juga: Pasar avtur di Indonesia dinilai tidak dimonopoli
Baca juga: Menhub: Avtur, pajak suku cadang, dan PPN penyebab tiket pesawat mahal
Baca juga: Menparekraf: Multiprovider Avtur buat harga tiket pesawat terjangkau
"Harga tiket pesawat yang dibayar konsumen, ditentukan oleh 16 komponen dan avtur hanya satu dari 16 komponen tersebut, sehingga tidak tepat menyimpulkan tingginya harga tiket pesawat untuk penerbangan domestik akibat mahalnya harga avtur," kata Komaidi dalam keterangannya di Jakarta, Senin.
Menurut Direktur Eksekutif ReforMiner Institute itu, berdasarkan ketentuan Permenhub Nomor 20 Tahun 2019, komponen tarif atau harga tiket pesawat yang harus dibayar oleh konsumen meliputi tarif jarak, pajak, iuran wajib asuransi, dan biaya tuslah/tambahan (surcharge).
Tarif jarak yang harus dibayar konsumen terdiri atas biaya langsung dan biaya tidak langsung.
Biaya langsung meliputi biaya operasi langsung tetap dan biaya operasi langsung variabel. Biaya operasi langsung tetap sesuai Permenhub 20/2019 adalah meliputi biaya penyusutan atau sewa pesawat, biaya asuransi, biaya gaji tetap kru, biaya gaji tetap teknisi, serta biaya kru dan teknisi training.
Sementara, biaya operasi langsung variabel meliputi biaya pelumas, biaya bahan bakar minyak (avtur), biaya tunjangan kru, biaya overhaul atau pemeliharaan, biaya jasa kebandarudaraan, biaya jasa navigasi penerbangan, biaya jasa ground handling penerbangan, dan biaya katering penerbangan.
"Berdasarkan ketentuan Permenhub 20/2019 itu, dalam harga tiket pesawat yang dibayar oleh konsumen adalah untuk membayar sekitar 16 komponen biaya maskapai termasuk pajak, asuransi, dan surcharge. Karena itu, peningkatan harga tiket pesawat tidak hanya terkait dengan harga avtur, tetapi juga ditentukan oleh 15 komponen biaya yang lainnya," jelas pengajar Program Magister Ilmu Ekonomi Universitas Trisakti.
Komaidi melanjutkan berdasarkan hasil studi, rata-rata porsi biaya avtur dalam komponen harga tiket pesawat antara 20–40 persen.
Studi tersebut menggambarkan bahwa terdapat sekitar 60-80 persen komponen biaya penerbangan yang lain di luar biaya avtur.
"Karena itu, upaya menurunkan harga tiket pesawat hanya dengan berfokus pada harga avtur, dapat menghasilkan kebijakan yang tidak proporsional," tambahnya.
Porsi biaya avtur terhadap total biaya penerbangan sejumlah maskapai seperti Garuda Indonesia, Thai Airlines, Singapore Airlines, Qatar Airways, dan Emirates pada 2019 masing-masing dilaporkan sebesar 27, 27, 29, 36, dan 32 persen.
Pada 2023, porsi biaya avtur dalam komposisi biaya penerbangan kelima maskapai tersebut dilaporkan meningkat menjadi masing-masing 36, 39, 31, 41, dan 36 persen.
Peningkatan tersebut salah satunya karena rata-rata harga minyak dunia pada periode tersebut mengalami peningkatan sekitar 30 persen.
Harga minyak jenis Brent tercatat meningkat dari 64,30 dolar AS per barel pada 2019 menjadi 82,49 dolar AS per barel pada 2023.
Sementara, harga minyak jenis WTI meningkat dari 56,99 dolar per barel AS pada 2019 menjadi 77,58 dolar AS per barel pada 2023.
Komaidi pun berharap pengambil kebijakan sebaiknya bersinergi dan duduk bersama untuk mencari solusi atas permasalahan yang ada.
"Semoga para stakeholder pengambil kebijakan lebih bijaksana, tidak saling menyalahkan, tetapi lebih mengutamakan duduk bersama untuk menyelesaikan permasalahan yang ada," sebutnya.
Baca juga: Pasar avtur di Indonesia dinilai tidak dimonopoliBaca juga: Pasar avtur di Indonesia dinilai tidak dimonopoli
Baca juga: Menhub: Avtur, pajak suku cadang, dan PPN penyebab tiket pesawat mahal
Baca juga: Menparekraf: Multiprovider Avtur buat harga tiket pesawat terjangkau
Pewarta: Kelik Dewanto
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2024
Tags: