Pendudukan Israel, kehancuran Palestina
Penyerbuan Israel yang mengakibatkan genosida Palestina di Jalur Gaza, Tepi Barat dan Yerusalem merupakan salah satu konflik paling destruktif di abad ke-21, dengan total 41.825 jiwa tewas, 96.910 terluka, dan lebih dari 10.000 orang dilaporkan hilang di bawah reruntuhan. Perang ini tidak hanya menargetkan warga sipil, tetapi juga meninggalkan banyak infrastruktur wilayah tersebut dalam keadaan porak poranda, situasi membahayakan dan membunuh petugas kesehatan, serta kehancuran pada bangunan rumah, sekolah, dan seluruh lingkungan, sebagai sasaran membabi buta Israel. /ANTARA/Anadolu/py
Palestina membentuk bagian tenggara dari kesatuan geografis yang besar di belahan timur dunia Arab yang disebut negeri Syam, meski Syam sendiri juga terdiri dari Lebanon, Suriah dan Yordania.
Perbatasan dengan Yordania dimulai dari wilayah selatan Danau Tabariyya pada pembuangan Sungai Al Yarmouk hingga sepanjang Sungai Yordania. Dari mata air Sungai Yordan, perbatasan ini lanjut ke arah selatan membelah pertengahan Laut Mati secara geometrikal dan Lembah Araba, hingga sampai pada daerah Aqaba.
Wilayah Palestina saat ini terbagi menjadi dua entitas politik, yaitu Wilayah Pendudukan Israel dan Otoritas Nasional Palestina. Deklarasi Kemerdekaan Palestina dinyatakan pada 15 November 1988 di Aljazair oleh Dewan Nasional (PNC) Organisasi Pembebasan Palestina (PLO).
Batas-batas wilayah Palestina selalu berubah sepanjang sejarah yang dimulai sejak masa Mandat Pra Inggris pada 1917 dimana Inggris mengalahkan Ottoman Turki yang kemudian mengeluarkan Deklarasi Balfour, sebuah janji publik untuk mendirikan 'tanah air nasional' bagi warga Yahudi di Palestina.
Setelah keluarnya deklarasi tersebut, terjadi peningkatan imigrasi Yahudi dari Eropa ke Palestina, sehingga populasi Yahudi yang sebelumnya hanya 6 persen meningkat menjadi 33 persen yang terjadi mulai 1918 hingga 1947.
Pada 1947, dengan berakhirnya Perang Dunia II, Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mengusulkan sebuah rencana pembagian wilayah dimana 55 persen wilayah bersejarah Palestina diberikan kepada negara Yahudi sementara 45 persen akan diberikan kepada negara Arab yang tidak bersebelahan, sementara itu Yerusalem akan tetap berada di bawah kendali internasional.
Usulan ini mendapat penolakan dari warga Palestina karena dianggap merampas sebagian besar wilayah kendali mereka. Saat itu Palestina memiliki 94 persen wilayah bersejarah yang mencakup 67 persen populasi sehingga rencana ini tidak terealisasi.
Perang Arab-Israel
Perang Arab-Israel disebut juga Perang Kemerdekaan atau Perang Pembebasan yang menjadi konflik bersenjata pertama dari serangkaian konflik antara Israel dengan tetangga-tetangga Arabnya.
Bagi orang Palestina, perang ini menandai awal dari rangkaian kejadian yang disebut 'Bencana/Castatrophe/Nakba.
Pada 14 Mei 1948 Israel memproklamasikan negaranya dan sehari kemudian langsung diserbu oleh tentara Lebanon, Suriah, Yordania, Mesir, Irak dan negara Arab lainnya.
Namun Israel berhasil memenangkan peperangan dan merebut hampir 70 persen luas total wilayah daerah mandat PBB dan membuat banyak warga Palestina mengungsi dari daerah yang dikuasai Israel.
Dengan kemenangan ini, hanya tersisa 22 persen wilayah bagi warga Palestina yang dibagi menjadi Tepi Barat dan Jalur Gaza. Perang yang berlangsung hingga Januari 1949 kemudian diakhiri dengan perjanjian gencatan senjata antara Israel dengan Mesir, Lebanon, Yordania dan Suriah.
Perjanjian tersebut menetapkan Garis Hijau yaitu garis demarkasi yang berfungsi sebagai perbatasan de facto negara mulai 1949 hingga 1967, dan terus mewakili perbatasan Israel yang diakui secara internasional dengan dua wilayah Palestina, Tepi Barat dan Jalur Gaza.
Pada 5 Juni 1967, Israel menduduki sisa wilayah bersejarah Palestina, termasuk Jalur Gaza, Tepi Barat, Yerusalem Timur, Dataran Tinggi Golan Suriah, dan Semenanjung Sinai Mesir selama Perang 6 Hari melawan koalisi tentara Arab.
Bagi sebagian warga Palestina, hal ini menyebabkan perpindahan paksa kedua atau Naksa, yang berarti "kemunduran" dalam bahasa Arab. Setelahnya Israel terus melancarkan serangan militer berkepanjangan di Gaza yaitu pada 2008, 2012, 2014, 2021 dan yang terbaru pada Oktober 2023.
Kebiadaban pemukim Israel
Setelah berhasil menduduki sisa wilayah Palestina, Israel mulai membangun permukiman dimulai di Tepi Barat dan Jalur Gaza yang diduduki.
Para pemukim Yahudi mendapatkan semua hak dan keistimewaan sebagai warga negara Israel sedangkan warga Palestina harus hidup di bawah pendudukan militer yang mendiskriminasi mereka dan melarang segala bentuk ekspresi politik maupun sipil.
Menurut laman AlJazeera diperkirakan ada 700.000 pemukim atau 10 persen dari hampir 7 juta penduduk Israel yang tinggal di 150 permukiman dan 128 pos terdepan yang tersebar di Tepi Barat dan Yerusalem Timur yang diduduki.
Hak dan keistimewaan yang diberikan pemerintah Israel membuat para pemukim berani melakukan penindasan, kekerasan bahkan pembunuhan terhadap warga Palestina.
Salah satu keistimewaan adalah pendanaan bagi pemukim untuk memantau, melaporkan dan membatasi pembangunan Palestina di beberapa area yang mencakup 60 persen wilayah Tepi Barat. Selama beberapa tahun terakhir Israel bahkan menyediakan jaringan komunikasi bagi para pemukim untuk melaporkan pembangunan oleh warga Palestina.
Sejak terjadinya serangan Israel di Jalur Gaza pada 7 Oktober 2023 penindasan yang dilakukan para pemukim semakin meningkat, meski sebelumnya hal tersebut kerap dilakukan, namun penyerangan pada Oktober tersebut seperti lampu hijau bagi pemukim untuk melakukan lebih banyak kejahatan.
Menurut situs Amnesty.org, pada April 2024, ratusan pemukim Israel melakukan aksi kekerasan dengan melancarkan serangan brutal ke desa-desa Palestina di Tepi Barat. Para pemukim membakar rumah, pohon dan kendaraan dan sedikitnya empat warga Palestina tewas oleh para pemukim atau pasukan Israel, termasuk seorang remaja 17 tahun.
Bahkan dalam aksi kekerasan lainnya, seorang paramedis Palestina ditembak mati di desa al-Sawiya di selatan Nablus.
"Lonjakan kekerasan pemukim terhadap warga Palestina yang mengerikan dalam beberapa hari terakhir merupakan bagian dari kampanye yang didukung negara selama puluhan tahun untuk merampas, menggusur, dan menindas warga Palestina di Tepi Barat yang diduduki, termasuk Yerusalem Timur, di bawah sistem apartheid Israel," kata Heba Morayef, Direktur Regional untuk Timur Tengah dan Afrika Utara di Amnesty International.
"Pasukan Israel memiliki rekam jejak dalam mendukung kekerasan pemukim dan sangat keterlaluan bahwa sekali lagi pasukan Israel hanya berdiam diri dan dalam beberapa kasus ikut serta dalam serangan brutal ini," tambahnya.
Sementara itu Perserikatan Bangsa-bangsa mencatat kekerasan pemukim telah mencapai rekor dengan peningkatan rata-rata dari tiga menjadi tujuh insiden per hari sejak meletusnya perang pada 7 Oktober.
Dalam keputusan bersejarah pada bulan Juli, Mahkamah Internasional menyatakan bahwa pendudukan Israel atas tanah Palestina yang telah berlangsung selama puluhan tahun adalah ilegal, dan menuntut evakuasi semua permukiman di Tepi Barat dan Yerusalem Timur.
Baca juga: Nasib anak-anak Palestina setahun agresi zionis
Baca juga: Dukungan Indonesia takkan sirna untuk Palestina yang bebas merdeka
Baca juga: Setahun agresi, Israel tutup total wilayah pendudukan Tepi Barat
Editor: Sri Haryati
Copyright © ANTARA 2024